Lewat Karyanya di Panggung Teater, Dexa Hachika Sampaikan Kritik Sosial
Manusia kerap berupaya “mempercantik” diri demi sebuah pencitraan. Hal ini terjadi sejak beribu tahun lalu. Tak cuma perempuan, laki-laki pun demikian. Ide inilah yang diangkat Dexara Hachika dalam pertunjukkan teater kontemporer “Tubuh Plastik” pada November 2020 silam.
Oleh: Nina Soraya
Tubuh Plastik dipertunjukkan di Taman Budaya Yogyakarta. Bernama lengkap Siti Dexara Hachika M.Sn yang merupakan actor dan sutradara teater asal Pontianak, Kalimantan Barat ini lewat karyanya “Tubuh Plastik” tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa standar kecantikan telah berubah.
Di situ dirinya ingin menyampaikan pesan bahwa pandangan terhadap “wujud” pun menjadi brutal. Yang bermula dari perhatian, berubah menjadi perawatan, lalu menjadi ketakutan, berevolusi menjadi candu, untuk terlihat menarik diterpaan puja-puji.
Karena standar cantik tersebut sudah diciptakan hal ini secara tak langsung mewajarkan prilaku body shamming. “Saya pernah ditawarkan untuk kerja (film), tapi saya diminta kurusin badan dulu,” ungkapnya.
Akrab disapa Dexa ini menyampaikan dalam karya “Tubuh Plastik”, banyak yang rela menahan rasa sakit saat mengubah diri mereka demi memenuhi standar cantik yang sudah ditetapkan.
Tak cuma ide cerita yang menarik, gerak gerik para actor yang terlibat dalam “Tubuh Plastik” dilatih dengan metode Tadashi Suzuki dalam mengeksplorasi tubuh. Metode Latihan ini didapat langsung Dexa dari sang maestro teater kelas dunia Tadashi Suzuki.
Dexa bersama 12 orang asal Indonesia pernah belajar di bawah naungan Suzuki Company of Toga (SCOT), salah satu pusat perkembangan teater kontemporer dunia di Jepang. Sejak 2016-2018 dirinya belajar teater langsung di Desa Toga, Togayama Jepang.
Untuk bisa mencicipi metode latihan ini, Dexa terlebih dahulu mengikuti audisi yang digelar di Jakarta. Saat itu dirinya yang baru kelar kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengaku tidak punya modal untuk berangkat audisi ke Jakarta.
“Saya telpon mama, minta dibelikan tiket agar bisa berangkat audisi. Saya janji ke mama akan ganti. Baru setelah kelar audisi terpikirkan, memangnya pasti menang ya?,” ujarnya sembari tertawa.
Perjuangannya berbuah manis, lewat audisi yang dinaungi Yayasan Purnati Indonesia yang dipimpin oleh Restu Imansari Kusumaningrum, dirinya bersama 12 orang lainnya terpilih dan bisa berangkat ke Jepang.
“Tentu saja beruntung sekali. Karena orang rela mengeluarkan uang agar bisa belajar metode latihan teater ini. Waktu kuliah dosen hanya mengajarkan basic saja dan tidak masuk di kurikulum. Sekarang bisa dikatakan untuk Suzuki Metode ini saya lebih bisa dari dosen saya,” kata perempuan kelahiran Agustus 1991 ini.
Menurutnya di Jepang ia digembleng untuk belajar metode Tadashi Suzuki. Setiap harinya, mereka memiliki jadwal Latihan yang sangat ketat. Dimulai sejak pukul 10.00-12.00 mereka harus mengikuti latihan basic metode tubuh, dilanjutkan pukul 14.00-17.00 untuk Latihan adegan, dan pada pukul 19.00-22.00 mesti Latihan lagi.
“Jadi selama di sana itu benar-benar kerja profesional,” tegasnya.
Kuncinya disiplin. Ia mencontohkan seperti tarian yang sudah ditetapkan 12 langkah, dan realisasinya harus 12 langkah apapun yang terjadi. Jadi tidak bisa improvisasi dan menggunakan musik partitur yang sulit untuk dilakukan pada pementasan teater.
Hal ini jadi pengalaman berharga baginya Dexa yang telah terjun ke teater sejak di bangku SMA. Menurutnya terdapat perbedaan teater di dalam negeri dan di luar negeri sana, karena memiliki kultur yang beda. Di Jepang metode teaternya tersendiri dan itu pun telah diakui dunia.
Buah dari Latihan tersebut dipentaskan dalam Toga Art Festival, Jepang, dan di Candi Prambanan, Indonesia pada tahun 2018. Lalu pada 17-18 Mei 2019 karya “Dionysus” tersebut dipentaskan saat pembuka gelaran Singapore International Festival of Arts (SIFA) 2019 di Victoria Theatre Singapura.
“Saya juga ingin mencoba panggung teater di luar negeri lainnya. Hanya Maestro Tadashi Suzuki ini sangat selektif dalam memilih undangan tampil. Beliau malah berkeinginan pertunjukkan teater di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali,” urainya lebih lanjut.
Dalam beberapa kesempatan, ia mendifinisikan profesinya di bidang seni adalah sebagai warna dalam hidup. Bahkan ketika itu abu abu yaitu antara perpaduan gelap dan terang, itu pun warna baginya.
“Saya ingin merasakan banyak warna itu tadi, sehingga saya mau terjun dan fokus ke seni teater,” terangnya.
Alumnus SMA Negeri 8 Pontianak ini memang telah berkenalan dengan dunia teater sejak di bangku SMA. Kala itu, dunia teater begitu “hits” di Pontianak dan sekolahnya pula memiliki ekstrakurikuler tersebut.
Baginya masuk teater membuatnya happy dan bisa jalan-jalan. Apalagi kerap mengikuti lomba tingkat provinsi dan nasional dan selalu pulang membawa gelar juara.
Berprofesi seniman, dia pun mengaku kerap dapat penolakan terutama dari kalangan keluarga. Padahal darah seni diturunkan dari sang ayah, namun tak langsung membuat Dexa dapat restu.
“Mungkin karena kesannya kalau Latihan teater itu pulang latihannya sampai larut malam. Apalagi saya ini kan perempuan. Jadi orangtua was-was. Tapi saya bisa buktikan di teater ini saya bisa berprestasi,” jelasnya.
Dukungan orangtua telah ia dapatkan, bahkan sang mama senantiasa setia hadir dalam pertunjukan teaternya. Ditanya kesan orangtua pada penampilannya? Dexa pun mengaku pernah dibuat deg-deg-an.
Kala itu dia tengah ikut pementasan “Lysistrata” yang mengisahkan perempuan-perempuan menghentikan perang dengan cara mogok seks.
“Karena cerita demikian tentu saja pakaian yang dipakai para pemeran vulgar. Sementara mama saya nonton pertunjukkan itu. Sempat diprotes. Lalu saya berikan penjelasan dan akhirnya bisa diterima orangtua,” kenangnya.
Dexa tercatat pernah menempuh pendidikan di Jurusan Teater Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2010) kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Pascasarjana ISI Yogyakarta dan lulus pada tahun 2020.
Haus pendidikan menjadi alasannya untuk melanjutkan studi kala itu. Kampus memberikan atmosfir berbeda untuk belajar lebih dalam tentang dunia teater. Tak sekedar berakting, Dexa pun terlibat dalam penyutradaraan.
Karyanya mengeksplorasi tentang kecantikan, pencitraan dan gender. Seperti karya bertajuk “Tubuh Plastik” yang disutradarai Dexa ini merupakan karya penerima Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2020. Tubuh Plastik pernah Dexa pentaskan pada 2018 dan 2019 juga, hanya saja kali ini, ia berikan tampilan yang berbeda dari sebelumnya.
Di kampung halamannya sendiri di Pontianak, Dexa pun pernah terlibat dalam penyutradaraan berjudul “Narcissus (The Legend of Daffodil)” bekerjasama dengan Sanggar Seni Pituah Enggang Pontianak. Karya ini tampil di Taman Budaya Pontianak
Bergelut dalam bidang kesenian selama lebih dari satu dekade, diakuinya untuk berakting di teater jauh lebih sulit. Oleh karena pendalaman karakter saja butuh waktu panjang. Misalkan saja, harus berperan sebagai perempuan hamil, maka Dexa rela berlakon hari-hari sebagai perempuan hamil bahkan saat berada di kampus.
Terjun Layar Lebar
Dara kelahiran tahun 1991 ini pun akan mencicipi dunia layar lebar. Bukan tanpa alasan Dexa tertarik. Pasalnya saat disodorkan peran sebagai penderita Sindrom Tourette, dirinya langsung menerima tantangan peran tersebut. Film tersebut direncanakan rilis akhir tahun ini.
Sindrom Tourette (TS) adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan gerakan involunter dan berulang-ulang, stereotipikal, dan vokalisasi yang disebut dengan tics. Gejala utama TS adalah tics, yaitu gerakan atau vokalisasi yang mendadak dan berulang-ulang. Gejala bervariasi dari ringan hingga berat dan memengaruhi kualitas hidup pengidap.
Lalu ia pun menguji aktingnya dengan mendokumentasikan dirinya menjadi penderita Sindrom Tourette dalam media sosialnya. Banyak feedback yang didapatkannya.
“Respons orang bermacam-macam. Ada yang menduga saya sakit benaran. Sejak kapan sakit, kamu kok kuat banget nahan sakit? Bahkan ada yang bilang kamu disantet ya. Bagi saya, kalau lagi berperan saya akan berperan benar-benar,” ungkapnya.
Diakuinya pula, terkadang ia sulit melepaskan karakter yang diperankan tersebut padahal sudah lepas pementasan, hingga kerap ditegur oleh teman-temannya.
Meski begitu kecintaan pada teater tidak akan dia tinggalkan. Targetnya pun saat ini ia ingin mengikuti audisi untuk pertunjukkan Robert Wilson. Robert Wilson merupakan sutradara teater terbaik di dunia yang menyutradarai pertunjukan teater kelas dunia yang diproduksi di Indonesia bertajuk I La Galigo.