Marak Kasus Kekerasan Perempuan, Memotivasi Reny Hidjazie Terjun Jadi Aktivis
Tergugah melihat masih banyaknya kasus kekerasan dan sejumlah persoalan lain yang dihadapi kaum perempuan membuat Aktivitas Perempuan , Reny Hidjazie memberanikan diri terjun memberikan pendampingan dalam meningkatkan kapasitas kaum perempuan.
Oleh: Ashri Isnaini
Berbekal wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Reny bersama-rekannya sekitar tahun 1998 kemudian merintis dan mendirikan Lembaga PPSW Borneo dan serikat Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Kalimantan Barat.
“Saya bepikir dengan membentuk sebuah lembaga atau organisasi maka upaya untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi kaum perempuan termasuk meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan kaum perempuan bisa lebih maksimal. Karena saya dan teman-teman bisa merangkul banyak pihak untuk sama-sama memberikan pendampingan, peningkatan kapasitas pemberdayaan hingga memfasilitasi persoalan yang masih dihadapi kaum perempuan,” kata Reny Hidjazie.
Perempuan yang kerap disapa Umi Reny ini menceritakan sebelum bersama rekan-rekannya merintis membentuk PPSW Borneo, dirinya telah bergabung di PPSW Jakarta sejak tahun 1991.
Usai tamat SMA di Pontianak, dia memilih pergi ke Bogor dan selama setahun mengikuti pendidikan Diploma jurusan Sektretaris Manajemen di Triguna. Selesai pendidikan Diploma dirinya hijrah ke Jakarta dan mulai bergabung di PPSW Jakarta.
Saat bergabung di PPSW Jakarta, Reny pun kerap kali diajak turun langsung ke lapangan mengunjungi ibu-ibu di seputaran Jakarta dan Jawa Barat yang merupakan dampingan PPSW.
“Awalnya selain turun ke lapangan saya hanya lihat kegiatan simpan pinjam dan pelatihan-pelatihan. Terkadang saya ikut juga jadi panitia pada pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh PPSW. Dari situlah saya terus mengasah dan meningkatkan kapasitas diri saya untuk lebih eksis menekuni bidang pemberdayaan perempuan ini,” ungkapnya.
Selang 1 tahun bertugas di PPSW Jakarta, pada tahun 1992, kemudian PPSW Jakarta punya program di Sumatera Utara. Reny pun memberanikan diri untuk mengikuti program tersebut di Medan.
“Saya memberanikan diri untuk ikut, karena saya pikir ini kesempatan saya untuk mengembangkan diri dan belajar kerja walaupun harus jauh di Sumatera,” jelasnya.
Di Medan, tugas yang Reny jalankan, masih seputar administrasi. Sesekali dia juga turun ke lapangan karena wilayah kerjanya yang luas di beberapa daerah seperti Kabupaten Sidikalang, Binja, Langkat, Tanjungpura dan Karo.
“Walau baru, namun saya senang sekali di Sumatera Utara, karena di sana lah kehidupan saya ditempa lebih kuat. Karena budaya yang berbeda, jauh dan belajar mandiri sendiri ya karena tidak punya saudara juga tetapi teman-teman tim kerja di sana mereka membantu saya dan menjadi bagian dari pembentukkan kepribadian diri saya sampai sekarang,” ungkapnya yang juga tercatat sebagai Dewan Pengarah Nasional Konsil LSM Indonesia.
Pengalaman selama di Sumatera Utara juga menguatkan proses-proses dan pengalaman kerja dan hidup bagi Reny. Di sisi lain, proses traveling yang dia jalani itu juga memberikan banyak warna. Lantaran dia bisa mengenal lebih banyak Indonesia secara keseluruhan dengan berbagai adat istiadat yang beragam.
“Di sana saya ketemu dengan banyak orang dari berbagai suku dan ini semua menambah pengalaman kerja juga. Di sana saya mengenal pekerjaan sebagai aktivis pemula, saya ikut diskusi-diskusi kritis, saya ikut melihat bagaimana tim melakukan proses pengorganisasian masyarakat, membangun jaringan dengan stakeholder terkait, bertemu dengan orang-orang penting, dan saya belajar dengan banyak orang pintar dan para pejuang masyarakat di sana,” paparnya.
Ibu tiga anak ini menceritakan, selama bertugas di Sumatera dirinya juga sempat mengunjungi Aceh dan Padang melalui jalan darat dengan naik bus. Kala itu kenangnya, Aceh sebetulnya masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).
“Saat menyambangi Aceh, saya belajar banyak di sana melihat perempuan-perempuan berjuang dalam situasi DOM itu. Kemudian saya juga melihat bagaimana perempuan membangun ekonominya seperti kegiatan membordir tas, kain dan kegiatan lain yang berupaya membangun ekonominya. Dari kunjungan di Aceh itu saya makin bersemangat untuk berusaha memberikan pendampingan dan meningkatkan kapasitas dan pemberdayaan bagi kaum perempuan,” ujarnya.
Meski mengaku belum lama bergabung dengan PPSW, namun dengan pengalaman yang dimiliki selama di lapangan, Reny mengakui selama di Sumatera sudah mulai mengenal gerakan perempuan di Sumatera, dari beberapa kali ikut diskusi kritis gerakan perempuan di Sumatera itulah, dia kemudian benar-benar mulai memikirkan tentang peran dirinya sebagai kaum perempuan.
Selama 3tahun di Sumatera Utara, kemudian Reny balik lagi ke Jakarta atau di PPSW. Dia melakukan pengembangan kelembagaan Duta Informasi yang merupakan lembaga yang dibangun PPSW untuk memperluas penguasaan IT dan dokumentasi. Selanjutnya PPSW mendirikan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) dan Reny diperbantukan di ASPPUK.
“Dari pengalaman di sini ini mengenalkan saya pada cara bekerja dalam jaringan LSM seluruh Indonesia. Ini pengalaman yang luar biasa juga proses peningkatan kapasitas yang pesat saya dapat juga dari proses bersama dalam ASPPUK ini termasuk pengenalan pertama perempuan dalam politik di tanah air (karena ASPPUK memproses pemilahan langsung pertama pada tahun pemilu langsung tahun 2009,” paparnya.
Sambil di ASPPUK ini lah Reny mengaku mengenal lebih banyak jaringan LSM di seluruh Indonesia dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga anggota ASPPUK.
Setelah menikah dan memiliki anak, pada tahun 2002 Reny pun memutuskan untuk kembali ke Kalimantan Barat dan mulai bergabung dengan PPSW Borneo. “Setelah balik ke Pontianak saya memutuskan tidak balik ke Jakarta lagi tapi memilih berkarya di tanah kelahiran Pontianak,” ujarnya.
Saat ditanya apa yang membuatnya tertarik menekuni pendampingan dan peningkatan kapasitas pemberdayaan bagi kaum perempuan, Reny mengatakan dirinya merasa tergugah.
Dia melihat banyaknya kasus-kasus yang ditemukan di lapangan terhadap persoalan yang dihadapi perempuan. Baik itu soal ekonominya, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), soal lemahnya posisi perempuan, lalu masalah rendahnya partisipasi perempuan dan relasi kuasa yang tidak imbang serta banyaknya diskriminasi dan stigma perempuan yang masih kuat di tengah masyarakat.
Menurutnya banyak suka duka yang dirasakan saat memberikan pendampingan langsung bagi kaum perempuan di lapangan. Untuk sukanya, tentu saja karena kenal dengan seluruh lapisan masyarakat dari level basis hingga atas.
Lalu membantu mereka dalam memperjuangkan hidupnya termasuk bisa belajar bercermin dari peristiwa kehidupan yang dilalui perempuan.
“Saya juga dapat tersambung dengan jaringan perempuan dari tingkat basis sampai di internasional. Tentunya sukanya itu bisa menjadi diri sendiri, mandiri dan matang, menemukan proses pembelajaran yang unik yang tidak didapat dari proses yang formal, bisa membantu sesama perempuan dan bisa berbagi ke masyarakat secara langsung,” paparnya.
Sedangkan duka yang dialami saat memberikan pendampingan yakni begitu banyak kisah sedihnya. Seperti kasus kekerasan yang dialami korban. Apalagi kekerasan seksual terhadap perempuan di lapangan terlebih jika sedih jika kasus tersebut tidak dianggap
“Sedih jika sesuatu yang sudah diperjuangkan dari awal terus itu tidak dianggap. Sedih pula kalau ada intimidasi atau melemahkan, meniadakan semua yang sudah diperjuangkan, selain itu sedih juga kalau melihat perempuan miskin apalagi ditambah anaknya banyak dan masih kecil-kecil,” ujarnya.
Menurut Umi Reny, masih ada stigma bahwa perempuan tidak penting dan lemah, ini menjadi momok, lalu menjadikan relasi kuasa tidak seimbang. Akibatnya akan menimbulkan diskriminasi yang berlarut serta menjadi kan proses pemiskinan, pembodohan, peminggiran pada perempuan.
Di sisi lain lanjut Reny, tidak berdayanya perempuan yang dikukung oleh budaya patriarki dibungkus lagi dalam “ikon-ikon” yang tidak membebaskan. “Harusnya perempuan dapat menggunakan semua sumber daya dalam pengembangan jiwa raga sampai ke tingkat spiritualnya,” ucapnya.
Dia menilai dalam upaya mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan proses pendidikan kritis untuk membantu perempuan dalam mengembangkan dirinya serta membuat dirinya lebih kuat dan berdaya.
“Menurut saya mengembangkan pola pikir yang berkelanjutan dan sistematis dan praktis yang bisa diperoleh perempuan tidak hanya dalam pendidikan formal namun juga bisa di dalam forum-forum non formal untuk mendapatkan pembelajaran bersama agar tidak ketinggalan dan mereka bisa menemukan solusi dalam persoalan yang mereka hadapi,” ungkapnya.
“Saya berharap dengan meningkatan kapasitas dan pemberdayaan diri bagi kaum perempuan, maka ke depan akan semakin banyak peempuan yang mampu mengembangkan kepemimpinan diri perempuan, agar terbangun sisterhood yang kuat. Jadi nantinya akan semakin banyak perempuan membantu perempuan, membangun empati lebih solid dan saling kerjasama antar perempuan basis sampai top level ,” pungkasnya.
Umi Reny turut dipercaya sebagai Ketua Forum PUSPA (Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak) Kalbar. Forum PUSPA Kalbar terbentuk pada 2017 silam. Programnya adalah ‘Three Ends’ yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan orang, dan akhiri kesenjangan ekonomi terhadap perempuan.