Dwi Penyu, Ibu Bagi Hewan Air Raksasa
DWI Penyu sapaannya. Sosoknya memang mungil namun siapa sangka perempuan asal Kota Singkawang, Kalimantan Barat ini sering menangani hewan-hewan air raksasa seperti penyu, paus, lumba-lumba, duyung (dugong) dan hiu paus. Dalam kesehariannya, Dwi sangat aktif menangani konservasi megafauna akuatik yang dilindungi tersebut.
Oleh: Syahriani Siregar
Kecintaan Dwi kepada penyu sudah sangat lama, sejak pertama ia duduk di bangku kuliah, dua puluh tahun lalu. Coba saja ajak Dwi ngobrol soal penyu, maka dengan semangat meletup-letup ia akan bercerita tentang hewan purba laut tersebut.
Lahir di Singkawang, 25 Mei 1983, drh. Dwi Suprapti, M.,Si merupakan lulusan Program Profesi Dokter Hewan dan Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Udayana Bali. Puteri kedua dari pasangan Suparno dan Nanik Minarsih ini sekarang sedang menjalani program Doktor Ilmu Lingkungan di universitas negeri tertua di Bali tersebut.
Sejak di tahun pertama kuliah, Dwi sudah aktif di luar kampus bersama WWF (World Wide Fund), organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah konservasi. Saat itu Dwi menjadi relawan dan sering ikut kegiatan bersama WWF Indonesia di berbagai daerah.
Kegiatan pertamanya adalah pelepasan tukik (bayi penyu) di pantai bersama penggiat konservasi Kuta di Bali. Pada masa itu, pemerintah pusat dan daerah sedang gencar-gencarnya melakukan penyelamatan penyu di Bali karena banyaknya penyelundupan yang terjadi.
Penyu diburu dan dikonsumsi bermodus kepentingan adat, padahal untuk kepentingan pribadi.
Sejak kegiatan itu, Dwi banyak terlibat soal kasus perlindungan penyu. Polisi khususnya kepolisian perairan (polair) sering menangkap penyelundupan penyu di Bali. Dwi melihat langsung bagaimana kondisi penyu-penyu itu dibawa di kapal oleh penyelundup. Tangan penyu diikat, kulit dibolongi, bahkan ada yang tangannya patah dan hancur. Penyu dibiarkan tertimpa dan tergencet hingga ususnya keluar. Penyu pun dibiarkan lama di kapal tanpa air. Dramatisnya, hewan bercangkang itu tetap mampu bertahan hidup.
“Ketika para penyelundup ditangkap, penyu-penyu itu disita dan dibawa ke kantor polisi lalu diletakkan di situ saja, tidak terawat karena tidak ada yang paham bagaimana merawatnya,” ujar Dwi.
Melihat kondisi yang menyedihkan itu, Dwi merasa simpati dan nuraninya terpanggil. Karena belum banyak dokter hewan yang bergerak di dunia akuatik, dengan tulus Dwi merawat penyu-penyu hasil selundupan yang tertangkap tersebut bersama pihak berwajib.
“Selama kuliah, saya kerjanya ya itu, mantengin Polair melulu, jadi dekat sama kawan-kawan di kepolisian air. Setiap ada kejadian pasti saya dihubungi,” kenang Dwi.
Bolak-balik kantor polisi bahkan tidur di kantor polisi sudah hal biasa baginya. Sewaktu menjadi relawan WWF, Dwi banyak dilibatkan kemana-mana. Waktu libur kuliahnya pasti digunakan untuk ikut kegiatan hingga ke pedalaman. Begitu lulus kuliah ia langsung direkrut dan berkarir bersama WWF Indonesia sebagai ahli penyu, hingga kini.
Saking cintanya dengan penyu, apapun penelitian yang Dwi lakukan selalu dikaitkannya dengan penyu, tidak hanya tugas kuliah, bahkan skripsi dan tesisnya juga berkaitan dengan penyu. Maka, tak heran julukan “Dwi Penyu” diberikan oleh teman-temannya. Diakuinya, disertasi Program Doktoralnya juga kelak akan berhubungan dengan penyu.
Banyak penelitian tentang penyu yang telah dilakukan oleh Dwi, yang paling populer adalah mengenai seks rasio pada penyu. Bayi penyu tidak bisa diketahui jenis kelaminnya secara eksternal seperti hewan lainnya, harus dilakukan metode khusus.
“Pembentukan jenis kelamin penyu sangat bergantung pada suhu inkubasi. Apabila suhu inkubasinya tinggi atau panas maka akan cenderung ke betina. Berbalik kondisi jika suhunya rendah apalagi kalau musim hujan ekstrem, maka cenderung jadi jantan semua,” jelas Dwi. Berkat penelitian tersebut, Dwi menjadi peneliti pertama di Indonesia untuk seks rasio penyu.
Di kampusnya, Dwi juga menjadi mahasiswa pertama yang mendirikan komunitas penjaga penyu bernama Turtle Guard. Sudah 17 tahun berdiri, komunitas kampus tersebut masih aktif hingga sekarang.
Tahun 2008 menjadi momen paling berharga, WWF menawarkannya kesempatan merintis lokasi baru untuk konservasi penyu. Sebagai puteri daerah Kalbar, ia merekomendasikan Paloh, Sambas, Kalimantan Barat. Berbekal cerita dari sang ayah yang pernah bertugas di Paloh sebagai seorang tentara, Dwi pergi merintis seorang diri dengan tekad tinggi dan harapan baru.
“Pertama kali saya ke sana, telur-telur penyu di Paloh seratus persen masih diburu masyarakat lokal untuk dikonsumsi. Tiap ada penyu mendarat, telurnya diambil oleh oknum tertentu bahkan mereka sampai berkelahi karena rebutan telur penyu,” cerita Dwi.
Tantangan luar biasa dirasakannya. Tak hanya penentangan dari masyarakat, perangkat pemerintah dari level bawah sampai atas pun belum tersosialisasi dengan baik soal perlindungan penyu. Namun, pelan-pelan ia masuk, sembari penelitian dan sosialisasi.
Dalam menjalankan tugasnya itu, sering kali Dwi mendapat teror dan ancaman akan diserang. Puluhan surat kaleng dialamatkan kepadanya. Tuduhan mencuri telur penyu pun acap kali dirasakannya. Dwi segera menguatkan keberadaannya, ia membentuk tim dan merekrut warga lokal. Kembali ia bersahabat dengan Polair, bahkan ia dan timnya dibuatkan ruangan khusus di kantor polisi sebagai basecamp.
Kajian demi kajian disosialisasikannya ke pemerintah desa, bupati, hingga gubernur, diharapkan sebagai dasar kebijakan pemerintah ke depan demi masa depan penyu di Paloh. Lima tahun perjuangannya tak sia-sia, akhirnya Paloh ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan pengelolaan berkelanjutan.
Berkat kinerja dan prestasinya tersebut, Dwi kembali dipercaya oleh WWF Indonesia sebagai Marine Species Conservation Coordinator yaitu koordinator nasional untuk konservasi spesies laut khususnya megafauna akuatik. Jadi tak hanya penyu, Dwi kini menangani satwa air yang berukuran besar lainnya seperti paus, lumba-lumba, duyung dan hiu paus. Selesai dari Paloh, Dwi bertolak ke Jakarta pada tahun 2014 dan memulai project konservasi baru.
Dwi memulainya dengan penanganan mamalia laut terdampar. Sebagai negara maritim, potensi terdamparnya mamalia laut di Indonesia sangat tinggi. Merasa belum menjadi ahli paus, ia merancang workshop internasional di Bali bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Ada 13 negara yang mengirimkan perwakilan, baik sebagai peserta maupun trainer. Tujuannya adalah menghadirkan para expert di Indonesia, yaitu dokter-dokter ahli dari Thailand, Hongkong dan negara lain untuk sharing ilmu dari aspek medis sampai penanganan dan kebijakan.
“Sejak saat itu KKP punya program penanganan mamalia laut terdampar, hingga sekarang. Bagaimana melatih masyarakat lokal atau masyarakat pesisir dan pemerintah daerah jika ada kejadian terdampar, seperti mitigasi bencana jika ada paus terdampar misalnya.
Contohnya di Aceh, ada paus dengan ukuran 17 meter terdampar sampai 10 ekor, atau di Madura terdampar hingga 48 ekor. Bagaimana nih supaya orang siap dan tanggap menolong sehingga paus tersebut tidak cepat mati,” jelas Dwi.
Dengan pengalamannya, Dwi sekarang dipercaya KKP sebagai tenaga ahli yaitu Trainer Penanganan Mamalia Laut Terdampar di Indonesia. Ia telah memberikan pelatihan teknis kepada ratusan orang di Indonesia, setelah sebelumnya ia belajar dan menjalani pelatihan ke negeri Gajah Putih, Thailand.
Dwi juga turut berpartisipasi aktif bersama KKP dalam penyusunan Dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Spesies Laut periode 2016-2020 dan 2021-2025, salah satunya penerbitan buku-buku panduan teknis monitoring maupun penanganan satwa laut terutama megafauna akuatik.
Lewat aksi-aksinya, Dwi layak disebut sebagai perempuan perintis. Tekad dan semangat juangnya yang tinggi membawanya sampai ke titik ini. Punya jiwa petualang dan dapat membaca peluang sepertinya sudah dimilikinya sejak SMA. Sebagai anggota Sispala di sekolah, Dwi senang melakukan perjalanan di alam.
Hampir setiap akhir pekan ia pergi sendiri naik bis dari Singkawang ke Pontianak demi mengikuti kegiatan yang diadakan Mapala Untan. Alumnus SMAN 1 Singkawang ini rela tidak membelanjakan uang jajannya selama seminggu agar bisa berangkat dan berkegiatan.
Pemilik Klinik Hewan Purnama ini sekarang sedang disibukkan dengan penelitian terhadap penyu belimbing. Bekerja sama dengan NOAA, badan peneliti di Amerika, Dwi sedang melakukan kajian terkait pola migrasi penyu.
Project ini sudah dimulai sejak tahun 2018 dengan memasang satelit telemetri di tubuh penyu untuk mempelajari pergerakan penyu. Sudah 5 penyu yang dipasangnya alat, target akan dipasang alat kepada 7 penyu lagi tahun 2021 ini. Project ini rencananya juga akan diangkatnya sebagai bahan disertasi.
Dengan segala pencapaian yang telah diraih, pendiri IAM Flying Vet (Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia) ini masih mempunyai mimpi yang belum tercapai hingga kini yaitu rumah sakit hewan terapung, rumah sakit hewan yang khusus menangani megafauna akuatik dan beroperasi di dalam kapal.
“Saya sudah mendirikan asosiasinya, sudah ada 55 dokter di Indonesia. Dulu jika hewan megafauna sakit tidak ada dokternya. Sekarang sudah saya inisiasi dokternya. Masalahnya sekarang mau dibawa kemana? Nggak punya pusat rehabilitasi yang memadai. Rumah sakit hewan terapung salah satu harapan,” ungkap Dwi.
Pernah suatu ketika Dwi menyelamatkan anak dugong yang terdampar. Bayi dugong yang masih perlu menyusu inipun terpisah dengan induknya.
Tanpa menyusui, bayi dugong itu tak dapat bertahan hidup. Dwi harus merehabilitasinya di laut, memberi susu setiap tiga jam sekali. Sambil memegang bayi dugong yang berukuran besar dan segala peralatan, tubuh Dwi yang kecil mesti terhempas-hempas ombak laut, terasa berat.
Syukurnya, donor untuk akuarium rehabilitasi berukuran medium sedang dalam progres saat ini. “Tahun ini coba mewujudkan mimpi untuk akuarium rehabilitasi dulu, semoga tahun-tahun berikutnya, rehabilitasi megafauna akuatik bisa dilakukan di rumah sakit hewan terapung,” pungkas Dwi penuh asa.**