Meniti Usaha dari Nol, BW Media Melesat karena KUR Bank Kalbar
Namanya Bearing, dia adalah pemilik usaha BW Media yang bergerak di bidang percetakan. Macam-macam jenis cetakan diproduksinya. Dari spanduk, cetak undangan, buku, majalah, kartu nama, gantungan kunci, cap stempel, paper box, gelas mug sampai pembuatan kotak kulineran.
Memulai usahanya dari nol dengan hanya satu karyawan di tahun 2007. Modalnya mesin printer serta keahlian desain dan menempati ruang garasi kecil di rumah orangtua di Gajah Mada 9 Pontianak, Kalimantan Barat. Sekarang, rumah itu sudah berubah menjadi kantor, dengan 14 karyawan dan berbagai mesin cetak.
“Itu semua kita raih dengan penuh perjuangan, kegigihan, kepercayaan dan dipercaya. Semakin berkembang, setelah mendapatkan kucuran dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Kalbar,” tutur Bearing yang didampingi istrinya, Wiwi ketika ditemui di sela kesibukannya melayani pelanggan, Jumat 19 Mei 2023.
Bearing bercerita, sebagai pelaku usaha yang masuk kategori UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) sulit rasanya untuk menapak lebih jauh. Mengembangkan bisnis, sudah pasti membutuhkan modal guna pembelian berbagai perangkat kebutuhan usaha, termasuk biaya operasional serta bayar gaji karyawan. Namun melalui dukungan KUR, semua bisa teratasi.
“Kita pilih Bank Kalbar. Karena, pertama ini adalah bank lokal, bank daerah yang seharusnya kita ikut mendukung. Ke dua, pelayanannya juga profesional. Terpenting lagi, bunga kreditnya terbilang murah, sehingga tidak membebani perusahaan,” tutur Wiwi yang diamini sang suami.
Pinjaman KUR Bank Kalbar diajukan pada tahun 2016 sebesar Rp 150 juta. Hanya dalam sepekan, dana sudah cair dan langsung digunakan untuk pembelian mesin offset. Dalam waktu tiga tahun, pinjaman lunas. Bisnis percetakan BW Media pun melesat, orderan terus mengalir, omset kian membaik. Saat ini, omsetnya per bulan sudah berada di angka Rp 100 juta lebih.
Mesin-mesin percetakan BW Media pun semakin lengkap. Ada dua mesin offset besar dan kecil, mesin potong, laminating, hotprint polimas, mesin sablon cup dan lainnya. Kini Bearing melirik mesin cetak UV untuk mencetak berbagai macam media dari metal dan nonmetal, seperti tumbler, ID Card, case HP hingga e-money. Selain itu, dia juga ingin berkembang lagi dengan memiliki digital offset.
“Peralatan mesin-mesin itu, bisa membantu produk-produk usaha lokal yang membutuhkan packaging menarik. Pasarnya memang masih terbuka lebar di sini,” tutur pria 47 tahun yang rajin olahraga ini.
Untuk persiapan mewujudkan keinginannya, Bearing sudah menyiapkan satu bangunan lagi yang berlokasi di Sudimoro, Jalan M Sohor Pontianak. Bangunan tersebut sudah dikerjakannya sejak tahun lalu. Saat ini sedang dalam proses akhir. Di sinilah, rencananya untuk menempati mesin-mesin baru yang ingin dibelinya nanti.
Bapak tiga anak ini mengakui, keberhasilan BW Media memiliki berbagai perangkat mesin cetak tersebut, juga tak lepas dari dukungan Bank Kalbar. Sebab setelah ia menyelesaikan pinjaman KUR yang pertama beberapa tahun lalu, dia kembali mengajukan kredit sebesar Rp 350 juta di tahun 2022. Dana tersebut digunakan untuk melengkapi kebutuhan usahanya.
Lantaran sudah menjadi nasabah terpercaya Bank Kalbar, Bearing malah ditawari pinjaman Rp 500 juta, namun ditolaknya, karena usahanya saat itu hanya butuh dana Rp 350 juta. Pinjaman KUR pun langsung cair, hanya dalam waktu tiga hari saja.
“Itulah hebatnya Bank Kalbar. Mereka mendukung penuh usaha-usaha kecil seperti kami, agar bisa berkembang. Untuk itu mereka memberi kemudahan, dalam pelayanan dan waktu pencairan, sehingga bisnis pun lancar,” kata Bearing.
Mengenang suka duka melakoni bisnisnya hingga beromset Rp 100 juta lebih per bulan, membuat pasangan ini tertawa bersama. Ketika itu, waktu masih berpacaran, mereka berdua memang merupakan pekerja media di sebuah surat kabar terkemuka di Pontianak. Bearing adalah seorang fotografer, namun juga jago desain. Sementara Wiwi merupakan staf bagian iklan koran berbahasa Mandarin. Mereka berdua klop, memiliki banyak kawan, banyak relasi dan banyak jaringan. Tapi yang utama adalah skill.
Sebelum menikah, mereka berdua sepakat mencoba peruntungan usaha di bidang desain cetakan dan setting. Orangtua Wiwi pun setuju untuk merelakan garasi rumahnya disulap menjadi tempat usaha kecil-kecilan.
“Waktu itu, kebetulan masuk tahun politik. Banyak teman-teman yang memberi orderan cetak. Malah ada caleg-caleg yang minta buatkan poto profil design spanduk atau baliho. Mereka hanya memberi DP (down payment) atau uang muka untuk cetakan yang dilunasi setelah barang jadi. Nah, ini kita lempar ke percetakan. Keuntungan itulah yang kita simpan dan jadi modal awal membuat usaha ini,” cerita Wiwi.
Di tahun 2007 itu, memang merupakan awal dunia percetakan masuk Pontianak. Harga orderan cetak pun terbilang tinggi. Untuk spanduk atau baliho harga per meternya Rp 50 ribu, karena memang bisnis percetakan masih bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan sekarang, yang harga cetakan spanduk hanya dipatok angka Rp 20 ribu saja, bahkan ada yang lebih murah lagi.
Setelah menikah, mereka sepakat fokus bisnis. Pekerjaan di media pun ditinggalkan. Uang tabungan dibuka untuk beli mesin indoor. Itu di tahun 2009. Berlanjut di tahun 2011 membeli mesin outdoor. Dari ruang garasi berukuran dua meter kali enam meter, akhirnya masuk rumah. Orangtua Wiwi merelakan tempat tinggalnya menjadi lokasi usaha dan pindah rumah.
Dari satu lantai saja yang digunakan, akhirnya merambah ke lantai dua, karena sudah terasa sesak dipenuhi oleh mesin-mesin, jumlah pekerja juga bertambah banyak.
Tak jauh-jauh dari profesi media, di tahun 2008 Wiwi malah pernah menerbitkan sebuah majalah yang diberinya nama Pontianak Info Media. Isinya adalah advertorial atau iklan-iklan serta beberapa ulasan berita-berita ringan. Peminatnya lumayan banyak. Di jaman dunia maya belum dilahirkan, promosi produk tak punya pilihan selain media cetak, yang harganya lumayan mahal.
Peluang itu ditangkap Wiwi. Dia menerbitkan majalah full color terbit bulanan, yang isinya 80 persen promo iklan dengan harga terjangkau, dan dibagikan gratis kepada masyarakat. Ribuan tiras dicetaknya dari percetakan di Jakarta dan dibawa ke Pontianak dengan transportasi laut.
Sempat berjalan setahun. Ketika suatu hari kapal yang membawa majalahnya tiba-tiba karam, barang cetakan pun ikut karam. “Dari sinilah, kita kemudian kepikiran untuk buka usaha percetakan, agar bisa cetak sendiri dan masyarakat pun tidak perlu jauh-jauh jika ingin mencetak. Sebab, waktu itu kan, kalau mau bikin produk cetakan, seperti buku, brosur atau majalah harus lempar ke Jakarta atau di luar daerah ini. Selain mahal, juga waktu tibanya kadang meleset,” kata Wiwi.
Kini, mereka berdua bersyukur. Usaha yang dititinya dari bawah sudah berada di atas, meskipun belum sampai puncak. Asetnya juga terus bertambah bahkan bisa membangun rumah sendiri. **