Membatik dengan Hati, Priska Ajak Perempuan Percaya Diri dan Mandiri
Oleh: Syahriani Siregar
Terletak di tiga penjuru Kota Singkawang, yaitu Singkawang Barat, Singkawang Timur dan Singkawang Selatan, kampung wisata batik menjadi destinasi wisata baru Kota Singkawang. Di mana wisatawan bisa berkunjung melihat proses produksi batik, membelinya untuk oleh-oleh dan mengikuti workshop membatik.
Kampung wisata batik membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Sejatinya sebagai fasilitas tempat, ilmu, pencarian dana dan event bagi masyarakat yang ingin membatik.
Berdiri pada 1 Agustus 2019. Di dua bulan pertamanya kampung wisata batik sudah menghasilkan 79 kain, memiliki puluhan pembatik dan telah mengadakan edukasi batik melalui pementasan teater pada Oktober 2019.
Sebagian besar karyanya adalah batik tulis dengan motif yang bertema etnik. Ada juga batik cap. Tentunya banyak memuat motif suku-suku besar di Kalimantan Barat seperti Dayak, Melayu dan Tionghoa. Ada pula corak yang ia bikin sendiri, biasanya terinspirasi dari kehidupan sosial masyarakat atau budaya lokal. Priska juga kerap menggambar tema tumbuhan dan hewan lokal.
Menjadi seorang misionaris batik adalah keinginan Priska. Baginya misionaris batik bukan hanya memperkenalkan batik tetapi juga memperkenalkan adab Kalbar lewat motif yang dituangkan pada kain. Apa yang telah digapainya sekarang memiliki jalan panjang yang berliku dan masih harus terus diperjuangkan. Ia telah mengalami jatuh bangun berkali-kali.
Priska dilahirkan dari latar belakang keluarga pendidik, Bapak dan ibunya adalah seorang guru yang merupakan pegawai negeri sipil. Lulus SMA, Priska justru ingin melanjutkan ke sekolah seni. Tapi sayang, orang tuanya tidak mengizinkan.
“Orang tua saya berpendapat kalau perempuan lebih aman bekerja kantoran atau menjadi PNS. Masa depan lebih terjamin ketimbang menjadi seniman,” ujar perempuan kelahiran Singkawang, 23 Januari 1988 ini.
Akhirnya Priska memilih jurusan ekonomi. Sewaktu kuliah di Jogja, perempuan 33 tahun ini justru belajar membatik untuk mengisi waktu senggangnya. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa tingkat akhir di tahun 2010. Ia belajar bersama seorang seniman yang merupakan kerabat ayahnya. Di Jogja, Priska diajarkan tentang ‘rasa’, metode pembelajaran klasik sangat dirasakan Priska bersama Eyang yang berdarah Jawa.
Lulus kuliah tahun 2011, ia pulang ke kampung halaman dengan mengantongi ijazah Sarjana Ekonomi. Bertujuan memanfaatkan ijazahnya tersebut, lulusan ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini menjadi karyawan sebagai staf akunting di satu di antara perusahaan swasta di Kota Amoi tersebut, sambil menjalankan toko baju yang telah ia dirikan sejak 2008 silam.
Dua tahun menjalani kerja kantoran, Priska merasa tak sanggup. Ia memiliki banyak uang namun tak merasa bahagia, tak punya banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Ia pun sempat masuk rumah sakit tiga kali karena kelelahan dan banyak pikiran.
Merasa bukan passion-nya, tahun 2013 Priska mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Namun sayang, pada tahun yang sama, ia juga harus menutup tokonya karena terbengkalai, usahanya tersebut bangkrut.
Priska coba menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya. Ia berpikir, apa yang akan dilakukan dengan materi yang tersisa? Nekat, ia memutuskan untuk membeli rumah. Dengan modal dari tabungannya dan sedikit pinjaman dari orang tua, Priska membeli rumah kosong yang terletak di Cisadane, Singkawang Barat.
Berbekal rumah kosong dan hobi membatik, ia membuka rumah batik. Letaknya strategis, di jantung kota dan dekat dengan kawasan mall. Rumah inilah yang kemudian menjadi markas kampung wisata batik pertamanya.
“Awalnya saya buka rumah batik dan spa. Membatik hanya untuk kesenangan sendiri saja. Ternyata makin lama makin ramai orang tertarik. Bukan ke spa tapi justru lihat pembatikan, mulai banyak yang minta kursus membatik juga. Akhirnya spa saya tutup dan fokus pada pembatikan,” kenang Priska.
Tahun 2014, Priska memperoleh kesempatan untuk membina 28 orang ibu-ibu rumah tangga yang ada di pinggiran Kota Singkawang. Sebelumnya, ibu-ibu tersebut membantu suaminya mencari nafkah dengan mengambil upahan panen ladang. Dalam masa empat bulan Priska membina ibu-ibu tersebut dengan bantuan dana dari Kementerian.
“Ternyata dari sana saya sadar, bahwa hobi yang sangat menyenangkan dan sangat mudah buat saya ini tidak berlaku untuk orang lain. Dari 28 orang yang saya bina sampai masa 4 bulan hanya bertahan 8 orang saja yang menyelesaikan program belajar membatik,” jelas Priska.
Tapi dari pembinaan tersebut Priska menjadi tidak sendirian. Di tahun tersebut ia menemukan teman-teman yang tertarik pada batik, menjadi satu visi dan misi untuk membangun rumah batik menjadi galeri workshop yang sekarang diberi nama Galeri Workshop Kote Singkawang. Namun, lagi-lagi jalan yang harus ditempuh masih berliku.
Pada tahun 2015, setahun berproses Galeri Workshop Kote Singkawang ternyata belum berjalan dengan baik seperti yang diharapkan, keluar masuknya teman-teman yang ikut berproses menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi Priska.“Yang paling berat adalah mengubah mindset mereka, kebanyakan mereka berpikir ‘aduh, barang seperti ini mampu laku berapa sih?’, ‘terus jualnya mau kemana ya, kan barang mahal?’ Pemikiran seperti itulah yang terus menerus perlu saya luruskan ke masyarakat setempat agar percaya diri dan mandiri,” ungkapnya.
Galeri Workshop Kote Singkawang terus mengembangkan diri, hingga akhirnya ia mendapatkan tim yang solid.
“Yang kami berdayakan adalah pengangguran, anak muda putus sekolah dan orang-orang yang terdiskriminasi karena social punishment setelah keluar dari penjara, dan juga ibu-ibu rumah tangga yang ikut membantu suami mencari nafkah,” imbuhnya.
Hingga pada tahun 2019 ia menjawab tantangan dari pihak sponsor untuk membangun kampung wisata batik. Dengan kesempatan itu, ia membangun kampung wisata batik di tiga penjuru kota dengan nama ‘Kampung Wisata Ragam Corak Singkawang Tiga Penjuru’.
Galeri Workshop Kote Singkawang di Cisadane yang berada di penjuru barat jadi markas pertama, kemudian ia memilih Nyarumkop di penjuru timur serta Sedau di penjuru selatan.
Semakin terkenal, workshop membatik yang dilakukan membuat mereka percaya diri dan bersemangat. Kunjungan demi kunjungan wisatawan yang ingin belajar membatik dan membeli batik datang dari berbagai daerah. Kunjungan dari Pertukaran Pelajar Antar Negara, dari berbagai kampus yang ada di wilayah Kalbar, kunjungan sekolah-sekolah, kunjungan Ibu-ibu PKK, kunjungan dari berbagai instansi dan perusahaan-perusahaan yang melakukan gathering menyempatkan diri untuk workshop membatik.
“Bahkan ada kunjungan dari para wisatawan mancanegara yang melihat kami dari akun Facebook (Taiwan, Thailand, Prancis). Kunjungan tidak hanya pada Galeri Workshop Kote Singkawang tetapi juga pada tiga wilayah kampung batik yang kami bangun,” ungkapnya.
Pameran menjadi salah satu targetnya untuk mempromosikan batik bersama produk lainnya. Dari awal berproses hingga kini, berbagai pameran dan ribuan kain batik telah dihasilkan oleh Priska dan teman-teman.Priska merasa bahagia sekaligus terharu atas apa yang telah diperolehnya saat ini. Hobi yang dilakukannya tanpa beban dan diyakininya bisa menjadi ruang meditasi untuk dirinya berpikir jernih ternyata bisa menjadi manfaat untuk orang-orang di sekitarnya.
“Saya mencoba membuka rumah batik awalnya tidak dengan harapan yang muluk-muluk. Saya hanya ingin bisa mengenalkan, mengajarkan membatik dan berbagi cerita tentang batik. Ternyata semua itu menjadi candu dan membawa rezeki yang lebih tidak hanya buat saya sendiri tetapi mampu memandirikan saya dan orang di sekitar saya,” ujar perempuan berdarah Jawa ini.
Tambah Penghasilan
Wahyu Sri Nurhani, 36 tahun, ia merupakan satu dari 28 ibu-ibu yang mengikuti pelatihan membatik oleh Priska pada tahun 2014. Diakui Wahyu, sejak bisa membatik, ekonomi keluarganya turut terbantu. Ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak ini dulu hanya bisa berladang, kini ia bisa membantu suaminya mencari nafkah.
“Merasa bersyukur karena dapat menambah penghasilan keluarga, sebelumnya hanya bergantung dari hasil upah suami yang menjadi buruh peternak ayam,” ujar Wahyu yang berada di kampung wisata batik penjuru selatan.
Semenjak ada kampung wisata batik tahun 2019, Wahyu semakin banyak mendapat pesanan batik tulis. Wahyu mengambil bagian dalam proses pencantingan. Dalam satu hari ia bisa menyelesaikan satu kain dengan panjang dua meter, sehingga tujuh kain batik dapat diselesaikannya dalam seminggu.
“Per kain saya bisa mendapatkan Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Biasanya setiap hari ada pemesanan dan pengerjaan. Namun semenjak pandemi pemesanan sedikit menurun, seminggu hanya 2-3 kain saja. Pesanan banyak saat adanya event pameran, sementara pameran belum bisa dilakukan sekarang ini. Semoga pandemi segera berlalu,” ujar Wahyu.
Walau pemesanan sedikit berkurang karena pandemi, Rosvanty Erlin juga merasa sangat terbantu semenjak bergabung dengan kampung wisata batik penjuru timur.
Perempuan 37 tahun ini bisa menambah penghasilan sehari-hari dan biaya anak sekolah dari kemampuannya membatik.
Ibu tiga anak ini berharap semoga bisa terus berkarya dan berkembang lebih baik ke depannya. “Semoga semua pihak mendukung kegiatan kami. Senang bisa menjadi bagian dari kampung wisata batik yang sangat memotivasi, saling mendukung dan kompak,” tutur Rosvanty.**