SAFEnet Desak Platform Media Sosial Tingkatkan Akuntabilitas dalam Pemilu 2024
Pontianak – Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) meluncurkan laporan riset terbaru berjudul “Kebebasan atau Kebencian? Mengkaji Akuntabilitas Platform Media Sosial di Indonesia” dalam acara seminar nasional yang digelar di Jakarta. Laporan ini mengungkap peran penting media sosial dalam penyebaran ujaran kebencian, terutama yang menargetkan kelompok rentan selama Pemilu 2024.
Menurut Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok dinilai belum memenuhi standar akuntabilitas yang memadai dalam moderasi konten, khususnya terkait ujaran kebencian. Salah satu catatan utamanya adalah terkait inkonsistensi dalam melakukan moderasi konten.
“Terdapat berbagai indikator untuk mengukur akuntabilitas platform digital, namun banyak platform media sosial belum sepenuhnya memenuhi standar akuntabilitas, terutama dalam hal transparansi dan moderasi konten. Laporan transparansi sering kali berfokus pada kuantitas tanpa kualitas, dan ada banyak inkonsistensi dalam penegakan kebijakan moderasi konten. Celah dalam teknologi deteksi serta perbedaan antara aplikasi mobile dan web juga menjadi tantangan dalam moderasi konten,” papar Nenden.
Heychael, salah satu peneliti SAFEnet, mengungkap bahwa perempuan dan komunitas LGBTQ menjadi target utama ujaran kebencian dengan unsur seksisme dan ancaman kekerasan selama pemilu. Meskipun ada upaya pelaporan, sebagian besar konten kebencian tetap tersebar di platform media sosial.
“Penelitian menunjukkan bahwa kelompok rentan seperti perempuan, LGBTQ, dan etnis minoritas seperti Tionghoa dan Rohingya menjadi sasaran utama ujaran kebencian, yang seringkali mengandung elemen seksisme, xenofobia, dan ancaman kekerasan. Meskipun ada upaya untuk melaporkan konten ini, moderasi dan akuntabilitas platform seperti Facebook dan TikTok terbukti kurang efektif, dengan sebagian besar konten kebencian masih tersedia meskipun telah dilaporkan” ungkap Heychael.
q
Sebagai penanggap, Apriyanti, Tenaga Ahli Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Hari Kurniawan, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), turut memberikan pendapatnya terkait laporan ini.
Apriyanti menceritakan hambatan dan keterbatasan yang dihadapi Bawaslu dalam memoderasi ujaran kebencian.
“Proses pengawasan masih menghadapi hambatan, seperti laporan manual dan kurangnya standar yang jelas dalam membedakan jenis pelanggaran. Bawaslu menyadari keterbatasan ini dan terbuka untuk kolaborasi lebih lanjut guna memperbaiki sistem pengawasan dalam pemilu mendatang” ujar Apriyanti.
Sementara itu, Hari Kurniawan menyampaikan kekecewaannya atas maraknya ujaran kebencian terhadap kelompok rentan di media sosial. “Saya mengkritik ketidakpatuhan platform seperti Meta terhadap hukum Indonesia dan merasa kecewa terhadap Bawaslu yang dianggap kurang responsif dalam menangani pelanggaran, terutama yang terkait dengan ujaran kebencian terhadap kelompok rentan selama pemilu” tegas pria yang akrab disapa Cak Wawa ini.
Selain memaparkan tantangan yang dihadapi dalam moderasi konten, SAFEnet menyerukan perlunya kolaborasi antara pemerintah, Bawaslu, dan platform media sosial untuk meningkatkan akuntabilitas. SAFEnet juga mendesak agar pasal-pasal karet dalam Permenkominfo 5/2020 dihapus dan merekomendasikan perbaikan dalam aturan kampanye KPU serta peningkatan kapasitas pemantau pemilu.
Kepada KPU, SAFEnet mengusulkan untuk merevisi pasal penghinaan dalam peraturan KPU mengenai kampanye dengan memperjelas karakteristik individu yang dilindungi. Sementara kepada Bawaslu, SAFEnet menyarankan peningkatan kapasitas bagi pemantau pemilu agar dapat membedakan ujaran kebencian dengan ekspresi yang sah.
SAFEnet juga merekomendasikan beberapa hal kepada platform media sosial, seperti mengembangkan kerangka kerja moderasi konten yang lebih komprehensif, meningkatkan transparansi termasuk bagi iklan politik, serta mempermudah aksesibilitas mekanisme pengaduan bagi pengguna.
Laporan ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk perbaikan sistem moderasi di ruang digital selama pemilu dan seterusnya