Category: Gender

Komnas Perempuan Merespon Peringatan Hari Hak Asasi Manusia ke 69

Hari HAM Internasional diperingati setiap tanggal 10 Desember, dimana Deklarasi Universal HAM yang dilahirkan 10 Desember 1948 adalah pernyataan global tentang Hak Asasi Manusia paska perang dunia ke II, sebagai upaya menghentikan kebiadaban perang, menghargai hak hidup dan kehidupan, kebebasan berpolitik, menikmati hak berpikir, beragama dan menjalankannya tanpa rasa takut, menghentikan segala bentuk diskriminasi atas dasar apapun, serta memastikan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya lainnya yang adil.

69 tahun perjalanan komitmen dunia pada deklarasi HAM ini, dalam pantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) masih menyisakan banyak catatan tentang kondisi pemenuhan hak perempuan di Indonesia, diantaranya pengabaian hak hidup dan kekerasan terhadap perempuan yang semakin menguat dalam keluasan dimensi maupun dampak yang dialami perempuan, hingga pada kematian dengan pola-pola yang sadis dan mengenaskan. Kasus-kasus kematian perempuan akibat melahirkan tanpa dukungan fasilitas dan antisipasi yang memadai, pekerja migran perempuan yang kembali ke tanah air dalam kondisi sudah tak bernyawa atau terancam hukuman mati, femisida (pembunuhan perempuan karena korban adalah perempuan) menjadi pola yang mengiringi kekerasan seksual.

Di sisi lain Komnas Perempuan mengapresiasi sejumlah capaian dan langkah negara, termasuk yang terjadi di daerah. Beberapa langkah maju yang kami catatkan adalah ; 1) Lahirnya ACTIP (Asean Convention on Trafficking in Person) dan deklarasi perlindungan migran di Asean; 2) Pengesahan beberapa Undang-Undang yang secara substansi melindungi perempuan, seperti UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, serta UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran di Indonesia, ratifikasi sejumlah Konvensi termasuk perlindungan migran dan keluarganya; 3) Diadopsinya 167 rekomendasi Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB oleh Pemerintah Indonesia dimana isu perempuan yang paling banyak diadopsi; 4) Pengakuan negara terhadap eksistensi penghayat dan penganut kepercayaan melalui putusan Mahkamah Kontitusi dalam identitas kependudukan; 5) Dirumuskan dan ditetapkan Rencana Aksi Nasional Pemenuhan HAM (RAN HAM) yang dimulai tahun 2013 melalui Peraturan Presiden; 6)Kemajuan di daerah mencatatkan inisiatif dan kebijakan yang difokuskan untuk melindungi hak-hak perempuan, khususnya perempuan korban.

Namun, kita dikagetkan dengan Peringatan hari HAM Internasional pada 10 Desember 2017 yang dilakukan di Kota Solo, Jawa Tengah yang ditandai dengan pemberian penghargaan kepada beberapa daerah sebagai Kabupaten/Kota Peduli HAM. Bukan soal upaya mendorong wilayah untuk peduli HAM, tetapi pemberian penghargaan pada sejumlah wilayah yang terindikasi atau nanar memiliki persoalan pelanggaran hak asasi yang mengusik rasa keadilan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM, termasuk wilayah yang masih memproduksi kebijakan diskriminatif yang dalam catatan Komnas Perempuan mencapai 421 kebijakan. Penghargaan terhadap Gubernur Jawa Tengah salah satunya –walau Jawa Tengah punya inisiatif yang baik soal layanan korban kekerasan berbasis gender– namun penghargaan tersebut telah mencederai perasaan adil masyarakat maupun perempuan Kendeng tolak semen yang telah melakukan aksi konstitusional, jalur hukum, mendirikan tenda lebih dari setahun atau bertahan satu bulan di depan kantor Gubernur, namun tidak ada respon yang memenuhi rasa keadilan korban dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Mereka juga telah berhari-hari menyemen kaki di depan istana, bahkan sudah 2 Perempuan Kendeng meninggal dalam perjuangan hak atas tanah dan air, termasuk perempuan penambang di Mrisi Purwodadi yang hilang nyawa tertimbun tambang tapi minim terekspose.   Kehancuran dan kerusakan alam yang parah dengan penambangan batu kapur terjadi di Kendeng, serta retaknya kohesi sosial bahkan hubungan kekeluargaan akibat perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen.  Belum lagi kasus Perempuan di Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal yang lahannya dijadikan wilayah tukar guling PERHUTANI Kendal dan berujung pada kriminalisasi terhadap tiga petani Surokonto Wetan yang memperjuangkan hak atas akses kehidupan mereka yang telah menjauhkan wajah Jateng sebagai wilayah yang melihat HAM sebagai bagian penting yang harus dilindungi.

Penghargaan terhadap wilayah (Kabupaten, Kota dan Provinsi) peduli HAM ini semestinya dirancang untuk menjadi pemicu bagi daerah untuk bersegera melakukan hal-hal yang penting dalam rangka melindungi HAM warganya, bukan hanya semata penghargaan seremonial dengan pendekatan yang tidak komprehensif, dan tidak sensitif pada korban.

Untuk itu Komnas Perempuan bersikap:
1. Berkeberatan dengan penghargaan yang diberikan kepada Gubernur Jateng apabila isu-isu konflik sumber daya alam tidak dituntaskan dengan cara-cara lestari dan konstitusional;
2. Meminta Kemenhukham mendorong wilayah peduli HAM dengan cara yang mengakar dan strategis, termasuk mengevaluasi kriteria dan proses penjurian secara terbuka, dengan memastikan dimensi HAM perempuan, pakta integritas, dan proses verifikasi yang ketat, dengan melibatkan berbagai pihak termasuk CSO dan korban;
3. Mendorong presiden dan kementerian juga seluruh jajaran negara untuk melakukan peringatan HAM dengan menuntaskan isu-isu krusial pelanggaran HAM dengan langkah-langkah mengakar, termasuk memperingatinya bersama korban, memberi penghargaan pada pembela HAM Perempuan;
4. Menggunakan kerangka Due Diligence (Uji cermat tuntas) yang berkaitan dengan tanggung jawab negara atas korban pelanggaran HAM perempuan yang meliputi: Pencegahan, Perlindungan, Penuntutan, Penghukuman dan Pemulihan.

Sumber :
Siaran Pers Komnas Perempuan Merespon Peringatan Hari Hak Asasi Manusia ke 69: Penghargaan Kabupaten/Kota Peduli HAM yang Abai Korban
Jakarta, 13 Desember 2017

Didik Ibu Rumah Tangga Jadi Penggerak Perubahan

Akademi Paradigta, Sekolah Perempuan Desa

Siang ini, saya diundang menghadiri rapat harian para ‘emak’ alias ibu-ibu yang tergabung dalam pengurus dan alumni Akademi Paradigta, di Desa Sungai Ambangah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Akademi Paradigta adalah sekolah atau tempat belajar perempuan, yang ditujukan bagi kader-kader desa, baik aktif maupun yang belum aktif terlibat di desa agar lebih mengenal desanya.

Oleh: Wati 

Butuh 27 KM untuk mencapai lokasi atau satu jam ke desa tersebut dari pusat Kota Pontianak. Sesuai kesepakatan, pertemuan akan diadakan di Balai Desa Sungai Ambangah.

Saya pribadi belum pernah datang ke Desa Sungai Ambangah Kubu Raya itu. Terbesit, karena jarak kabupaten tidak jauh dari wilayah pusat ibu kota provinsi, Kota Pontianak, tentu tak berbeda kondisinya dengan wilayah kota, ramai orangnya, dan lapang jalannya.

Perlu diketahui, Desa Sungai Ambangah merupakan salah satu desa di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya dengan luas wilayah 31.630 km².

Memiliki lima dusun, 8 RW dan 34 RT. Jumlah penduduk mencapai 6.021 jiwa dengan 3.097 laki-laki dan 2.924 perempuan. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai petani dan bercocok tanam.

Untuk menuju desa bisa menggunakan dua rute. Bisa rute air atau darat. Saya lebih memilih jalur darat, mengingat perkiraan awal kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi di tengah kota.

Makin menuju desa, jalan mulus berubah menjadi jalan bebatuan dan sempit. Tidak sesuai perkiraan diawal tapi kabar baiknya, di sepanjang jalan, saya disuguhkan dengan pemandangan hijau area persawahan dan hutan. Pemandangan hijau pastinya menyegarkan mata dan meringakan ketengangan pundak saat berkendara.

Tiba di balai desa, para alumni dan pengurus Akademi Paradigta sudah berkumpul. Mereka tengah mendengarkan arahan kepala desa setempat terkait data-data desa yang harus mereka himpun.

Faktanya, para lulusan Akademi Paradigta ini banyak diperbantukan oleh pemangku kebijakan untuk terlibat dalam berbagai program desa. Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para lulusan. Bukan hanya mereka perempuan tapi karena kiprah dan komitmen mereka dalam terlibat membangun desa.

Akademi Paradigta bukan sekedar kumpulan perempuan tapi lebih dari kumpulan perempuan biasa. Mereka adalah penggerak perubahan tak kasat mata, mereka tak tinggi pendidikan tapi tinggi harapan dan kemauan.

Akademi Paradigta adalah tempat pelatihan dan pengembangan diri. Tempat semacam perkuliahan singkat yang memiliki aturan, modul belajar yang tertata dan terstruktur. Hampir sama dengan sekolah resmi lainnya.

Seperti diungkapkan Koordinator Pendidikan Akademi Paradigta Kuburaya, Kholilah.  Bedanya, kata dia, di Akademi Paradigta ini kesemuanya adalah perempuan, kebanyakan adalah ibu rumah tangga maupun perempuan yang memiliki kualifikasi dan komitmen tinggi membangun desa.

Diakui, saat ini keterlibatan perempuan di desa sangat minim. Padahal, adanya UU Desa harusnya membuat perempuan aktif berpartisipasi. Adanya Akademi Paradigta ini bisa mendorong perempuan desa tampil dan terlibat dalam kepentingan desa.

Nantinya, saat kelas akan dibuka, Akademi Paradigta yang diinisiasi oleh Serikat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Kabupaten Kubu Raya menginformasikan hal tersebut kepada seluruh kecamatan dan desa.

“Biasanya di awal-awal tahun, seperi kisaran bulan Februari dan Maret,’ katanya.

Kepala desa kemudian akan menyeleksi siapa yang memiliki dedikasi dan keaktifan di wilayahnya untuk belajar di Akademi Paradigta. Terpenting, usai mereka belajar di akademi, mereka bisa kembali dan memulai langkah terlibat dalam program desa. Dari hasil seleksi itu akan dikirim ke tingkat kecamatan. Setiap kecamatan yang berpartisipasi berhak mengirimkan masing-masing perwakilan.

“Biasanya 7-8 orang. Dipilih di tiap desa. Di Desa Sungai Enau misalnya itu ada 15 orang perempuan yang ingin ikut tapi karena desa hanya sanggup membiayai berapa, maka sisanya diikutkan tahun depannya,” terang Kholilah.

Perlu diketahui, desa bisa memberikan bantuan biaya selama menempuh pendidikan di Akademi Paradigta. Biaya transport dan uang konsumsi. Dengan catatan, tidak semua desa memberikan ‘beasiswa’ tersebut.

Per kelas akan ada sekitar 40 orang. Para perempuan ini akan mendapatkan pola belajar dengan didampingi mentor-mentor berpengalaman, baik dari PEKKA dan PPSW. Pembelajaran dimulai dari hari Senin-Jumat, waktu belajar lima jam dari satu kali pertemuan dengan total lama belajar adalah 6 bulan.

Seminar Akademi Paradigta dalam mendorong partisipasi perempuan dalam anggaran desa

Uniknya, jika di sekolah umum mereka belajar di satu ruang kelas yang sama hingga masa akhir pendidikan. Di Akademi Paradigta ini kelas belajar bisa berpindah-pindah, mulai dari kantor milik PEKKA, balai desa hingga rumah warga.

Bahkan, kelas bisa diliburkan jika para murid yang berisi ibu-ibu ini tengah menghadapi hajatan tahunan. Sebut saja lomba, kegiatan sosial yang digelar pemerintah setempat.

“Menyesuaikan, apalagi kita tahu para ibu ini kebanyakan anggota organisasi yang memiliki kegiatan rutin didesanya. Jadi, pas ada kegiatan itu, mereka minta izin kelasnya libur. Untuk kelas, bisa gantian dimana yang paling dekat dengan mereka,” paparnya.

Untuk sistem belajar, awalnya hanya memiliki 10 modul tapi sekarang Akademi Paradigta memiliki 12 modul yang menjadi bahan pokok pembelajaran. Seperti modul wawasan kebangsaan, stunting, ketahanan pangan, UU Desa, pengorganisasi masyarakat, advokasi, hingga desa harapan.

Sama seperti proses belajar, akan ada tugas yang harus dikerjakan, baik tugas harian hingga tugas lapangan. Dari sekedar mengetahui soal SOP di posyandu, puskesmas, kantor desa hingga harus mengorganisir perempuan desa sebagai tugas lapangan maupun tugas akhir siswa akademi.

“Mereka diberi ilmu, dan praktek langsung ke lapangan. Jadi, umumnya memaparkan kondisi desa-desa yang ada di Kubu Raya. Tujuannya biar mereka makin kenal desanya dan bisa berfikir ke depan program yang belum selesai maupun yang harus ada di desa mereka sudah terbayang,” kata dia.

Sebagai tugas akhir, para siswa Akademi Paradigta ini diharuskan membuat rencana atau tindak lanjut apa yang ingin dilakukan untuk perubahan kampungnya. Rencana tersebut dibuat tertulis dengan membuat skema tersusun sehingga setelah disahkan oleh para mentor, tulisan akhir itu bisa direalisasikan di desa masing-masing.

Karya tulis tersebut akan menjadi semacam ‘skripsi’ yang akan dikembalikan kepada siswa akademi saat wisuda nanti.

Usai menyelesaikan proses belajar 6 bulan, tiba saatnya para siswa ini pun diberi kehormatan seperti layaknya wisudawan universitas. Bedanya mereka hanya dikalungkan slempeng kelulusan Akademi Paradigta oleh petinggi pemerintah maupun pengurus pusat.

Meskipun sederhana, namun antusiasme para lulusan sangat terasa. Mereka merias diri, mengenakan kebaya terbaik serta memboyong seluruh keluarga untuk hadir sebagai penghormataan atas capaian yang diraih.

“Ini menjadi momen pembuktian diri bahwa mereka berguna untuk memajukan desanya usai dari sini, jadi biasanya mereka tampil maksimal,” ucapnya tersenyum.

Tentu, usai menyesaikan pembelajaran di Akademi Paradigta, para alumni ini dituntut menghidupkan desa mereka, baik terlibat di PKK, karang tarunan maupun organisasi lainnya.

“Intinya mereka bisa terlibat langsung di desa, bisa memberdayakan para perempuan yang ada di sana.  Para alumni ini bisa benar-benar terlibat, merintis mimpi desa sesuai dengan harapan yang ingin mereka raih,” ungkap Kholilah.

Pengalungan slempang Akademi Paradigta oleh Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan

 

Para lulusan tampak ceria dan kompak saat pengalungan oleh Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan

Dampak nyata dirasakan para alumni Akademi Paradigta. Haminah, misalnya. Berasal dari Desa Dusun Kampung Baru, angkatan pertama tahun 2016-2017.  Ia ibu rumah tangga, tidak tamat sekolah dasar dan berprofesi sebagai petani.

Keseharian Haminah hanya melayani suami dan mengurus anak-anak. Ia tidak memiliki kemampuan bersosialisasi, apalagi terlibat dalam dunia organisasi seperti pencapaiannya saat ini yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Koperasi Mandiri Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya hingga aktif sebagai pengajar di keaksaraan nasional atau KS. Ia ditunjuk mengajar perempuan buta huruf dikampungnya. Pencapaian luar biasa diraih wanita berjilbab ini.

Sejak bergabung di Akademi Paradigta, Haminah seperti memiliki kemampuan lain. Rasa minder mulai terkikis. Berani tampil menyuarakan pendapat, terlibat dalam diskusi kelompok dan aktif saat belajar.

Kesemuanya itu ia dapatkan di akademi, keseruan dan kesabaran mentor membuat ia paham bahwa dirinya bisa berguna sekaligus bermanfaat bagi desa dan lingkungannya.

Yulida pun merasakan hal sama. Ibu tiga anak ini merupakan lulusan Akademi Paradigta angkatan kedua, tepatnya tahun 2018 lalu.

Ia tinggal di Desa Sungai Ambangah. Lokasi antara rumah dan tempat belajar yang jauh, belum kondisi jalan dan cuaca tak membuat Yuli patah semangat.

Ia percaya pepatah ‘Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Itu yang ia rasakan. Belajar mandiri, tidak tergantung sang suami ketika ada persoalan di desa, berani bersuara saat rapat desa hingga mengusulkan apa yang perlu dilakukan didesanya.

Ia pun bisa membentuk PEKKA di Desa Sungai Ambangah. Luar biasanya, hingga saat ini sudah ada dua kelompok yang teribat di masing-masing desa, dimana per kelompok berisi 30an anggota, yang umumnya diisi oleh perempuan. Semua itu berkat kerja keras dan komitmen Yulida untuk tidak membiarkan perempuan duduk diam saja tanpa bersuara.

Ketua Serikat PEKKA Kubu Raya, Asmawati optimis perempuan yang tergabung dalam Akademi Paradigta bisa memberikan perubahan untuk desanya.

Tak banyak perempuan desa yang paham akan APBDes, namun ketika masuk dalam Akademi Paradigta, pokok pembahasan anggaran desa menjadi menu utama.

Pada akhirnya, transformasi perempuan desa bisa membawa manfaat, tidak hanya untuk pribadi, keluarga tapi juga desa terkait. Jika perempuan mampu berdikari dan aktif secara intelektual dan sosial, maka ia percaya lingkungan desa akan semakin berdaya. (*)

Menyuarakan Suara-suara yang Tak Bisa Bersuara

Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan begitu getol memperjuangkan nasib kaum perempuan, terutama di pedesaan. Dia hadir bersama Lembaga Gemawan yang berjuang untuk kedaulatan politik rakyat, kemandirian ekonomi rakyat, karakter budaya lokal, keadilan ekologis dan kesetaraan gender. Fokusnya adalah menyuarakan suara-suara yang tidak bisa bersuara. Yaitu para kelompok lemah. 

Oleh: Yuli S

            “Ini penting untuk menyuarakan suara-suara mereka, supaya ada perubahan, tak hanya untuk kita sendiri tapi juga bagi perempuan lain,” tuturnya.

             Lahir sebagai  putri ke empat dari lima bersaudara. Ayahnya, H Tajuin Sulung adalah seorang guru di Kabupaten Sambas. Sejak SMP dirinya sudah senang membaca. Tamat SMA perempuan ini melanjutkan pendidikan di Jogja, pilihannya adalah  IAIN jurusan pendidikan Islam. Sifat kritisnya dimulai dari sini dengan menjadi aktivis hingga bergabung dalam HMI dan betah di Lembaga Gemawan. “Saya itu, paling senang berinteraksi dengan orang,” ucapnya.

               Sejak kecil sudah punya keinginan menjadi Duta Besar. Lantaran profesi itu, seperti yang disaksikannya di layar televisi, merupakan juru bicara atau perwakilan suatu negara. Nah, profesi yang dilakoninya sekarang, yakni menjadi aktvis dan penggerak Lembaga Gemawan terasa klop sudah.

                Lembaga Gemawan berdiri mulai 1997, diawali dari diskusi-diskusi. Lantas secara legalitas dimulai pada 1999. Sementara Laili menggabungkan diri sejak 2001 sebagai volunteer atau tenaga sukarelawan. Kini dia didapuk sebagai Direktur Gemawan dan kian menguatkan perjuangannya terhadap kaum hawa.

Program Gemawan sendiri fokus pada isu terkait pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat, isu anti korupsi dan pemberdayaan perempuan. Kesemuanya menjadi mainstreaming, jadi perspektif selalu ada perempuannya. Program yang khusus perempuan, lebih banyak mendorong kelompok perempuan di tingkat desa, kemudian menjadi organisasi perempuan di tingkat kabupaten.

Mereka rutin melakukan diskusi dengan berbagai tema atau isu yang ada di sekitar mereka untuk membangun kesadaran dan pemberdayaan, bahwa perempuan itu, dengan berbagai haknya bisa diekspresikan. Progam lainnya adalah fokus training pengelolaan SDM, di antaranya adalah usaha kecil perempuan dan lainnya.

Ada tujuh kabupaten dan dua kota yang kerap disambangi Laili Khairnur. Yaitu, Kabupaten Sintang, Sambas, Kapuas Hulu, Kayong Utara, Mempawah, Kubu Raya, Kota Singkawang dan Kota Pontianak. Semua daerah ini fokus pada isu perempuan, kecuali Kota Pontianak.

Kata Laili, perempuan-perempuan di kampung tidak punya informasi, tapi sebenarnya ada informasi. Nah ini yang harus digali. Mereka diberikan peningkatan kapasitas, training kepemimpinan, edukasi, packaging bagi yang punya usaha, marketing hingga pengelolaan produk turunan yang mereka miliki.

Bagi kasus tertentu, semisal saat pandemi Covid-19, ada juga bantuan yang digulirkan. Terutama untuk mereka yang terdampak langsung, seperti tak bisa bekerja lagi karena kondisi pandemi, bantuan keuangan, bibit atau bantuan mesin pencacah rumput dan sebagainya.

Kerjasama dengan instansi pemerintah juga dilakukan. Di antaranya di Kabupaten Sambas, berkenaan dengan perempuan penenun. Produk tenun mereka dikampanyekan dan didaftarkan. Hasilnya, usaha menenun mereka kini sudah melanglang hingga nasional bahkan internasional, mereka berpameran di Malaysia, dan malah sudah diakui Unesco.

“Di Sintang, perempuan petani yang memproduksi beras hitam, kini sudah menjadi komoditi prioritas Pemerintah Daerah. Banyak lagi yang kami lakukan dalam memperjuangkan dan mengangkat kehidupan perempuan di pedesaan. Mereka kini malah menjadi penggerak pembangunan di desa. Karena hampir 50 persen desa itu adalah perempuan, jadi harus ada perwakilan mereka,” tegasnya.

 

 

Kelompok Petani Perempuan memulai penanaman padi.

Petani perempuan mengurusi lahan pertanian.

Sepak terjang Laili dalam memperjuangkan kaumnya patut diacungi jempol. Dia pantang takut dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun. Pernah di suatu desa, ketika dia hendak membangun kelompok perempuan, dia harus berhadapan dengan para suami.

“Ya, ketika itu kita nginapnya di sebuah hotel. Para suami dari ibu-ibu yang hendak kita ajak membangun kelompok perempuan menaruh curiga. Ngapain perempuan-perempuan di hotel, begitu kata mereka. Tapi setelah kita jelaskan dan mereka menyaksikan sendiri proses pembelajaran yang kita berikan, baru mereka percaya. Sekarang malah mereka yang mengantar istrinya,” ceritanya sambil tersenyum mengenang.

Pengalaman tak enak itu, juga kerap berulang di desa lain, seperti di Kubu Raya atau di Sambas. Awalnya mereka heran dan bertanya-tanya, kegiatan kaum perempuan berkelompok hanya menghabiskan waktu dan tak jelas. Karena ada kepercayaan bagi orang kampung, bahwa perempuan hadir dalam sebuah forum itu tabu. Memang butuh kesabaran untuk meyakinkan dan membuktikan hasil akhir dari perjuangan tersebut.

Di sebuah desa di Kabupaten Sintang, lain lagi ceritanya. Kehadiran Gemawan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, ditolak mentah-mentah. Pasalnya, produksi beras mereka yang berlebihan disarankan untuk dijual saja. Namun menurut mereka, di kampung mereka, tidak ada tradisi menjual beras karena mereka sudah berkecukupan. Terlebih jika itu dilakukan, bakalan membawa petaka ke kampung mereka. Mereka juga tidak menerima bantuan.

“Kita menghormati budaya setempat. Ini menjadi pembelajaran juga bagi kami di Gemawan, bahwasanya ketika kita melaksanakan program, mustinya memperhatikan hal-hal tersebut terlebih dahulu. Kita harus menghormati budaya setempat. Karenanya kita mundur dan mengakui kesalahan kita,” jelasnya.

Satu di antara kegiatan yang dilakukan Laili bersama Gemawan.

21 tahun menyatu dalam Lembaga Gemawan, dirinya merasa lega. Banyak pengalaman suka duka yang dirasakannya. Kini dia sudah bisa melihat hasil perjuangan yang dilakukannya. Sudah banyak kaum perempuan di desa yang terangkat kehidupannya. Sudah banyak kaum perempuan yang tampil dalam forum. Banyak pula usaha kaum perempuan yang meningkat. Begitu pula pendidikan anak-anak perempuan, sudah jauh lebih baik, akses pun sudah terbuka.

Laili Khairnur (kanan) saat menjadi pembicara Diskusi Perempuan.

Namun perjuangan belum berhenti, meski sudah terjadi peningkatan tapi bukan berarti persoalan selesai. Karena sistem patriarki itu selalu ada. Di samping perempuan yang beruntung dan sukses, tetap masih ada yang belum beruntung.

“Jangan anggap, bahwa semua sudah terselesaikan. Tetap ada masalah di lapangan, terutama bagi mereka yang belum beruntung dan jauh dari akses informasi pendidikan. Masih banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah, tidak kuliah tapi sudah merasa cukup. Bahkan ada yang berpikiran anak perempuan tunggu menikah, maka selesai tugas orangtua. Padahal tidak seperti itu,” tegasnya.

Menurut dia, walau peluangnya semakin besar. Artinya, itu bukan terjadi dengan seketika, tetapi dimulai dengan perjuangan dari banyak elemen, dari kelompok masyarakat yang konsen dengan isu perempuan.

“Banyak perempuan yang menganggap ketika sudah berhasil, maka persoalan yang dihadapi perempuan lain selesai. Coba lihat dan turun ke lapangan, lihatlah realitanya, saya yakin pasti ada. Bahkan saya sendiri yang sudah benar-benar terbebas dari yang namanya ketidakadilan, tetap yakin tidak seratus persen tidak ada hambatan lagi,” katanya.

Dia berharap, perempuan yang beruntung sudah berhasil, bisa terus menyebarkan keberhasilannya kepada orang lain, agar orang lain juga bisa menikmati keberhasilan yang sama. “Mari bantu perempuan lain,” imbuhnya.

Aksi perjuangan Laili Khairnur diapresiasi banyak orang, salah satunya adalah Umi Kalsum. Kepala Sekolah SMP di Kabupaten Kubu Raya. Umi mengakui sering mendengar dan menyaksikan, kegiatan kaum ibu yang dipelopori oleh Gemawan.

“Ibu-ibu di kampung yang awalnya tak punya kegiatan dan tak berani tampil, saya lihat sekarang sudah banyak yang mandiri, mereka berkegiatan dan mampu berbicara dengan cerdas,” ucap Umi.

Dia bilang, ada beberapa keluarga dan kenalannya ibu-ibu di kampung yang merasa terbantu dengan program Gemawan, terutama dalam memotivasi mereka agar ikut berkiprah dalam pembangunan, khususnya membangun diri sendiri dan keluarga.

“Kegiatan seperti ini, kita harap terus berlanjut, agar kaum perempuan kita, terlebih yang berada di pedesaan, tidak kalah majunya dengan yang berada di kota,” katanya.

Lain lagi komentar Netty Kamiso, ibu tiga anak yang sering bolak balik Kayong Utara – Pontianak. Di Kayong Utara, meski tak ikut langsung kegiatan kaum ibu, lantaran kesibukannya berbisnis, namun dia mendukung program Gemawan dan kegiatan yang dilakukan dalam penguatan kaum perempuan di pedesaan.

“Ada beberapa kawan saya, yang ikut kegiatan Gemawan di Kayong, mereka membentuk kelompok perempuan di lima desa, agar berpartisipasi aktif  di bidang ekonomi, sosial, pembangunan dan lainnya,” kata Netty.

Menurut Netty, apa yang dilakukan Gemawan terhadap kaum perempuan di pedesaan sangat positif. Ibu-ibu di sana sekarang sudah semakin maju dan tak minder lagi untuk tampil.

Kata Netty, temannya dari Desa Seponti Jaya, mengaku senang dengan kehadiran Gemawan serta memfasilitasi pembentukan kelompok perempuan. Baik Netty dan teman-temannya di desa, berharap agar program-program Gemawan dapat terus meningkatkan potensi yang dimiliki kaum perempuan, sekaligus meningkatkan perekonomian mereka.

‘Srikandi Kembar’ Pejuang Informasi dan Literasi Tanpa Takut Diskriminasi

Apa yang terbersit saat mendengar kata Informasi dan literasi? Pastinya era teknologi seperti sekarang ini sebagian kita sangat akrab dengan dua kata itu.

Oleh: Chica

Menurut KBBI, informasi adalah  penerangan, pemberitahuan atau kabar atau berita tentang sesuatu. Sementara literasi bermakna kemampuan menulis dan membaca. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup.

Jika kata literasi dan informasi digabung menjadi literasi informasi, maka dalam pengertian Perpustakaan Perguruan Tinggi mendefinisikan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk mengenal kebutuhan informasi untuk memecahkan masalah, mengembangkan gagasan, mengajukan pertanyaan penting, menggunakan berbagai strategi pengumpulan informasi, menetapkan informasi yang cocok, relevan dan otentik.

Memahami makna literasi informasi menjadi kebutuhan semua pihak. Tak heran jika semangat literasi informasi terus digaungkan, mengingat ini erat kaitanya dengan era keterbukaan informasi yang ingin dibangun pemerintah. Banyak tokoh dalam dan luar negeri menjadi pejuang literasi informasi, termasuk tokoh lokal asal Kalbar yang getol memperjuangkan keterbukaan informasi dan literasi kepada khalayak ramai.

Saat ini, informasi sudah menjadi kebutuhan manusia. Era teknologi, memudahkan informasi untuk didapat. Namun, informasi harus diimbangi dengan literasi agar informasi tidak salah kaprah. Ini juga menjadi kerja para pejuang informasi agar selain melek informasi juga melek literasi. Di Kalbar, ada banyak pejuang informasi dan literasi.

Sebut saja, Rospita Vici Paulyn dan Chatarina Pancer Istiyani. Keduanya adalah pejuang informasi dan literasi yang sama-sama bekerja di Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalbar. Sosok perempuan mereka tidak menghalangi bergerak di lintas organisasi, komunitas, lembaga untuk mensosialisasikan pentingnya mengetahui informasi yang dibutuhkan masyarakat. Selain keterbukaan informasi, mereka juga kerap menggaungkan pentingnya memahami informasi dengan baik dan benar agar tidak salah persepsi.

Rospita dan Chatarina dijuluki ‘Srikandi Kembar’ Komisi Informasi Kalbar. Tidak hanya berhasil masuk dalam jajaran KI yang umumnya menjadi ranah patriaki, tapi keduanya terbukti mampu bertahan hingga dua kali menduduki komisioner KI Kalbar. Bukan tanpa alasan mereka mendapat julukan tersebut. Beberapa rekan kerja, hingga kolega, lumrah mendengar julukan tersebut.

Bagaimana tidak, kiprah kedua perempuan tangguh ini bukan hal biasa, mereka mampu mendobrak kebiasaan dengan dibuktikan keduanya mampu menjabat Ketua KI Kalbar dalam periode masing-masing.

Rospita menjabat Ketua KI dari periode 2017-2019. Lalu terpilih kembali sejak Januari 2021 lalu. Sementara Chatarina terpilih menjadi Ketua KI tahun 2015-2017 lalu.

Jadi,tak heran melihat prestasi keduanya. Mereka pun cukup aktif dalam perjuangannya merealisasikan Kalbar yang transparan dalam hal informasi publik. Mereka mengabdikan diri mendorong banyak kebijakan terkait transparansi informasi, terutama data instansi pemerintah yang bisa diakses masyarakat secara luas dan berkala.

Rospita saat menjadi pembicara di International Women’s Day.

Pita begitu ia disapa, memulai karir di KI sejak tahun 2016. Awalnya, ia bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan jasa konstruksi. Bahkan, pernah menduduki jabatan direktur di perusahaan yang sama.

Sejak tanggal 14 Januari 2021 lalu, untuk kedua kalinya ia dipercaya menjadi Ketua KI Kalbar. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai menjabat ketua di sejumlah organisasi keperempuanan.

Baginya, status sebagai seorang perempuan tidak menjadi penghalang bagi profesinya, terutama saat menghadapi sejumlah gugatan terkait informasi.

Rospita berbicara dalam sharing keterbukaan informasi dan literasi

Sebagai perempuan yang memimpin organisasi bergengsi tidak lantas ia berpangku tangan.   Ini lebih berusaha keras agar literasi informasi bisa dipahami masyarakat. Terpenting, akses informasi menjadi jelas dan pasti tanpa hambatan akibat terhalang peliknya akses informasi.

Nah, tokoh perempuan pejuang informasi lainnya adalah Chatarina Pancer Istiyani. Ia merupakan, Koordinator Penyelesian Sengketa Informasi Publik pada Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat.

Wanita kelahiran Sleman ini merupakan aktivis sekaligus peneliti di sejumlah lembaga dan institusi. Memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik memudahkan ia masuk dalam jajaran perempuan Kalbar yang diperhitungkan, mengingat kontribusinya bagi daerah, terutama dalam membela hak-hak perempuan, lingkungan dan literasi informasi.

Ia gemar membaca dan hobbi menulis. Sejumlah buku sudah ia karyakan, seperti  ‘Tubuh dan Bahasa’. Buku ‘Mozaik Dayak: Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku Berjudul ‘Memahami Peta Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku ‘Senator di Perbatasan’ hingga menulis kisah parlemen perempuan ‘Profil Perlindungan Perempuan Kalimantan Barat’.

Chatarina saat diwawancarai sejulah media

Ia menganggap perempuan sangat pantas masuk dalam bingkai kesuksesan dibidangnya masing-masing. Masuk sebagai komisioner KI menjadi pembuktian bahwa perempuan bisa sukses jika mau bersungguh-sungguh dengan komitmen yang ada.

Menurutnya, ada andil para perempuan dalam pewujudan keterbukaan informasi public di Kalbar, ada perjuangan merebut hak untuk tahu, dan juga berbagai kisah dan peristiwa lainnya.

Ia masih ingat jelas saat perjuangannya terlibat dalam pembentukan KI Kalbar. Andil para Srikandi, terutama para aktivis perempuan Kalbar yang getol dalam memperjuangkan keterbukaan informasi.

Diakui, menjadi penggiat informasi dan literasi bukan pekerjaan gampang, kegigihan saat berhadapan dengan laporan hingga masuk area persidangan jadi bagian rutin komisioner ini.

Adanya UU Keterbukaan Informasi tidak lantas membuat tugas menjadi mudah, tetapi justru makin banyak tantangan, terutama bagi badan publik yang belum siap dalam meng-up date data terbaru.

Sementara masyarakat yang mengetahui adanya UU ini menuntut informasi menyeluruh. Diakuinya, ada beberapa informasi yang harus disampaikan setiap saat. Ada juga informasi yang disampaikan secara berkala minimal enam bulan sekali, khususnya anggaran yang menjadi sorotan masyarakat.

Chatarina saat memberikan materi keterbukaan informasi publik

Dalam dedikasi mereka, perempuan tidak boleh cengeng hanya karena jauh dari rumah saat tugas harus diselesaikan. Perempuan harus bisa membuktikan diri bahwa mampu mengatasi tekanan, persoalan dan putusan yang harus segera diambil. Intimidasi dan diskriminasi tidak membuat mereka takut, meskipun ancaman maupun tekanan menjadi hal biasa dalam pekerjaannya itu.

“Jika akses untuk mendapatkan informasi publik terhalang, jangan heran jika pemahaman akan literasi yang ingin kita bangun lewat keterbukaan informasi akan semakin sulit. Kita makin terhambat, masyarakat bingung untuk mencari informasi kemana, makanya kita hadir agar seluruh instansi pemerintah transparan dalam memberikan informasi,” ujarnya.

Menurut mereka, masalah informasi publik ini harus sampai kepada masyarakat ditataran terendah sehingga literasi masyarakat pun bisa baik dalam melihat informasi yang ada.

Informasi publik, terutama menyoal anggaran, pendidikan, sosial dan kesehatan adalah yang paling banyak dicari, terutama oleh kalangan perempuan karena yang memiliki dampak langsung informasi tersebut. Literasi yang kurang akan informasi publik membuat ia dan rekannya di KI melakukan sosialisasi kepada perempuan agar melek dalam membaca informasi yang ada.

“Literasinya yang terus kita asah dalam membaca informasi pubik yang mereka butuhkan,” ujar Pita.

Baik Pita dan Chatarina mengakui, banyak tantangan yang mereka dihadapi. Berbagai kasus sengketa informasi melibatkan banyak pihak dari kepolisian hingga lembaga daerah menjadi hal biasa baginya. Dalam hukum, tidak ada yang namanya perbedaan perempuan dan laki-laki, jika tidak kompeten dibidangnya maka akan sulit menghadapi persoalan yang ada.

“Bagi kita, ini bukan halangan. Perempuan atau tidak, kita berjuang dalam bidang kita masing-masing. Perempuan duduk di dalam sidang, apalagi yang berjuang agar informasi bisa transparan sehingga literasi bisa terjadi. Menjadi kehormatan tersendiri dan saya, sebagai seorang perempuan pastinya bangga,” ungkap Chatarina.

Akses informasi yang sulit membuat banyak perempuan tidak bayak yang paham apa yang menjadi hak mereka. Perempuan adalah korban pertama ketika informasi sulit mereka dapat. Ini merupakan perjuangan perempuan dalam memastikan informasi, terutama yang bersifat publik bisa mereka akses.

Dengan tugas yang seabrak tidak membuat dua srikandi ‘kembar’ ini lelah, mereka cukup aktif dalam mesosialisaiskan di tingkat kota, kabupaten hingga desa pelosok Kalbar.

Belum lagi sosialisasi antar pulau di sejumlah daerah pedalaman Kalbar menjadi dedikasi sekaligus hiburan manis di tengah pesan-pesan edukasi yang mereka bawa. Bertemu banyak pihak, organisasi kepemudaan, perempuan maupun lintas agama, menjadikan mereka kaya akan pengalaman. Lebih memahami persoalan masyarakat pelosok akan kebutuhan informasi.

Saat ini banyak kerja-kerja penguatan informasi dan literasi menjadi pekerjaan rumah, mengingat kawasan Kalbar yang luas, ditambah jalur transportasi dan komunikasi yang masih sulit.

Warga pedalaman sama nasibnya dengan warga yang tinggal di perbatasan Kalbar-Malaysia. Mereka membutuhkan informasi untuk kelancaran kerja dan tugas mereka.

Bagi Pita dan Chatarina, ini adalah tugas wajib mereka saat terpilih menjadi komisioner KI Kalbar. Bukan hanya tugas, tapi dedikasi dalam memberikan kebutuhan informasi publik warga.  Meskipun ke depan akan lebih banyak tantangan. Seperti ungkapan Kartini dalam bukunya ‘Habis Gelap, terbitlah terang’.

Umilia, Pelopor Rumah Pintar Punggur Cerdas

Umilia adalah seorang guru sekolah menengah atas di Kota Pontianak. Ia termotivasi untuk mendharma baktikan ilmu yang didapatkan selama kuliah di FKIP Universitas Tanjungpura Pontianak. Karena itu pada tahun 2018 Ia membuka sebuah tempat bimbingan belajar yang dinamakan Rumah Pintar Punggur Cerdas di kampung halamannya di Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Foto & Narasi : Jessica Wuysang

Di tempat tersebut Ia membuka bimbingan belajar untuk anak-anak usia sekolah dasar. Sekaligus membuat perpustakaan yang menyajikan buku-buku tentang ilmu pengetahuan juga religi.

Umilia, gadis berusia 25 tahun itu bertekad untuk mencerdaskan anak-anak di kampung setempat. Dan tekadnya pun mendapat dukungan penuh dari kedua orangtua. Awalnya mereka kebingungan mencari tempat untuk menampung anak-anak belajar dan sempat mendapat cibiran juga diremehkan oleh sejumlah warga setempat.

Namun kemudian Ayahnya Umilia memutuskan untuk membangun tempat semacam pondok kecil di halaman rumah.

Dengan dana yang seadanya, sang Ayah memulai membuatnya sendiri. Berjalan waktu, Umilia mendapat banyak kemudahan berupa potongan harga pembelian bahan bangunan dari sebuah toko bangunan setempat, juga dana bantuan dari donatur untuk melengkapi tempat tersebut.

Akhirnya berdirilah Rumah Pintar Punggur Cerdas yang digawangi Umilia beserta 30 relawan yang membantunya. Sebagian besar para relawan itu merupakan remaja masjid yang bermukim di kampung setempat.

Anak-anak yang mau mengikuti bimbingan di tempat itu, cukup membayar Rp 2.000 per pertemuan.

Umilia menyatakan bahwa uang Rp 2.000 itu dikumpulkan untuk membeli bahan ajar atau ditabung guna membeli hadiah bagi anak-anak berprestasi yang belajar di tempatnya.

Selain pelajaran sekolah, anak-anak yang sebagian besar muslim, juga mendapatkan ilmu agama. Umilia berharap, anak-anak memiliki ilmu dan adab yang baik.

Kini Rumah Pintar Punggur Cerdas sudah membimbing 95 anak setempat untuk belajar bersama. Hal tersebut juga didukung penuh oleh para orangtua yang menitipkan anaknya untuk belajar di tempat tersebut.

Dirinya merupakan satu di antara 21 peraih Reinventing Local Heroes Award yang dihelat Tribun Network dan Tribun Institute pada Desember 2020 lalu.

Penghargaan tersebut sebagai penghargaan kepada insan di daerah yang memiliki pengaruh positif bagi daerahnya masing-masing.

Sejumlah anak bimbingan Rumah Pintar Punggur Cerdas mengambil buku dari rak perpustakaan di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Wuysang

Sejumlah anak usia sekolah dasar bermain lego di Rumah Pintar Punggur Cerdas di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Wuysang

Pendiri Rumah Pintar Punggur Cerdas Umilia (kanan) bermain bersama anak bimbingannya di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Wuysang

Sejumlah anak bimbingan Rumah Pintar Punggur Cerdas membaca buku di atas sungai di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Wuysang

Sejumlah anak bimbingan Rumah Pintar Punggur Cerdas membaca buku di atas sungai di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Wuysang

Sejumlah anak bimbingan Rumah Pintar Punggur Cerdas membaca buku di perahu di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Helena Wuysang

Pendiri Rumah Pintar Punggur Cerdas Umilia (tengah) bernyanyi bersama sejumlah anak bimbingannya di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama. FOTO Jessica Wuysang

Sejumlah anak usia sekolah dasar bermain di Rumah Pintar Punggur Cerdas di Parit Tembakul, Dusun Cempaka Putih, Desa Punggur Kecil, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (30/1/2021). Rumah Pintar Punggur Cerdas yang didirikan oleh guru sekolah menengah atas bernama Umilia (25 tahun) pada tahun 2018 tersebut, menjadi wadah bagi anak-anak setempat untuk belajar, bermain dan membaca bersama

 

Sepak Terjang Nomi Nanda, Beri Edukasi Perempuan Pentingnya Dapat Akses Layanan Kesehatan di Kubu Raya

Banyak warga tidak paham pentingnya mendapat akses pelayanan kesehatan. Hal ini membuat Nomi Nanda prihatin. Berbekal pengetahuan yang dimiliki sejak 2017, ia berinisiatif menjadi Koordinator Posyandu sekaligus Kader Pos Binaan Terpadu- Penyakit Tak Menular (Posbindu-PTM) di Desa Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Kerja kerasnya ini pun membuatnya diganjar sebagai Kader Generasi Sehat Cerdas (GSC) terbaik di Kalimantan Barat. 

Oleh Ashri Isnaini
Menjadi Koordinator Posyandu dan Kader Posbindu-PTM merupakan tantangan tersendiri bagi Nomi Nanda. Pasalnya tidak sekedar membantu tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan, dalam kesehariannya Nomi juga turut mengedukasi masyarakat khususnya kaum perempuan agar lebih memahami pentingnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Ditemui disela-sela pelayanan Posyandu dan Pobindu-PTM Desa Sungai Raya Dalam belum lama ini, Nomi mengaku secara umum melihat pelayanan kesehatan sudah lumayan baik di desanya.
“Hanya saja, sebagian masyarakat terkesan tidak peduli. Mungkin saja karena sibuk dengan kegiatan di rumah dan tempat kerja. Ditambah belum pahamnya mengenai pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan membuat masih ada sebagian masyarakat khususnya kalangan ibu rumah tangga ini yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal,” papar perempuan 56 tahun ini.
Sebelumnya sekitar tahun 2016 Nomi juga telah bergabung menjadi Kader Generasi Sehat Cerdas (GSC) di desanya, bahkan sempat didaulat menjadi kader GSC terbaik di Kalimantan Barat.
 Dengan menyandang predikat terbaik sebagai kader terbaik GSC tingkat Kalbar itulah yang kian memacu dan membuatnya merasa bertanggung jawab untuk terus memberikan konstribusi agar masyarakat.
Khususnya para kaum perempuan dan anak-anak di desanya bisa mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang baik dan terjamin kesejahteraan hidup dan kesehatannya. Kendati hanya bertugas mendampingi tenaga, namun dalam kesehariannya tak jarang Nomi bersama rekan-rekannya juga membantu masyarakat tidak mampu untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan gratis BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah.
“Jadi sembari memfasilitasi bagi masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan BPJS, kami juga sembari mengedukasi masyarakat terkait pentingnya mendapatkan layanan kesehatan ini,” ucapnya.
Lebih dari 3 tahun tahun menjadi koordinator Posyandu sekaligus kader Posbindu PTM di desanya, Nomi mengaku hingga kini masih terdapat sejumlah kendala baginya untuk mengedukasi masyarakat terutama kaum perempuan terkait pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan baik untuk diri sendiri maupun anak-anak di rumah.
Misalnya saja, masih ada sebagian kalangan ibu rumah tangga yang masih enggan memeriksakan kondisi perkembangan janin selama masa kehamilan secara rutin ke bidan hingga masih ada sebagian yang enggan memberikan imunisasi lengkap bagi anak-anaknya sejak usia dini.
“Karena sebagian warga masih percaya kalau anak mereka akan baik-baik saja karena dinilai sudah memiliki imunitas tubuh yang baik. Faktor tradisi secara turun temurun juga ada. Makanya saya bersama kader Posyandu dan Posbindu lainnya terus berupaya meyakinkan mereka dengan pendekatan persuasif sehingga mereka lebih memahami pentingnya memeriksakan kesehatan diri terutama di masa kehamilan hingga memberikan imuniasai yang lengkap bagi anak-anak di rumah,” jelas Nomi.
Sama halnya dalam pemeriksaan kesehatan terkait deteksi dini terhadap potensi Penyakit Tidak Menular (PTM). Masih ada warga yang enggan memeriksakan kesehatan, meskipun telah diberikan jadwal rutin pemeriksaan kesehatan oleh Posbindu desa setempat.
“Selalu saya sampaikan, kalau bukan diri kita sendiri, siapa lagi yang akan memerhatikan kondisi kesehatan kita,” ungkapnya.

Puluhan ibu rumah tangga dan sejumlah lansia tampak antusias mengikuti pelayanan Posyandu dan Posbindu PTM di Komplek Korpri Gang Harum Manis Desa Sungai Raya Dalam

Suasana pelayanan kesehatan dalam kegiatan Posbindu PTM

Nomi Nanda berbincang dengan warga saat memberikan pelayanan kesehatan

Nomi menilai dalam mengedukasi masyarakat terkait pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan juga dibutuhan kerjasama dari sejumlah pihak terkait. Sehingga pesan dan pemahaman yang ingin disampaikan bisa diterima secara baik dan maksimal oleh masyarakat.
“Saya merangkul sejumlah kaum perempuan yang telah aktif di sejumlah kegiatan organisasi masyarakat, para alumni sekolah kepemimpinan Paradigta menjadi kader Posyandu dan Posbindu di desa. Karena saya meyakini dengan pengetahuan dan skill yang dimiliki kaum perempuan juga bisa memberikan pemahaman yang baik bagi masyarakat terkait pelayanan kesehatan dan sejenisnya,” jelasnya.
Tidak cukup dengan menjadi kader Posyandu dan Posbindu PTM, untuk memperjuangkan akses pelayanan kesehatan bagi kaum perempuan, pada tahun 2017 lalu Nomi Nanda juga memberanikan diri terlibat menjadi bagian unsur pemerintah dengan dengan menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sungai Raya Dalam.
Dengan kemampuan yang dimiliki, pada Agustus 2018 Nomi diberikan amanah sebagai Ketua BPD Kubu Raya menggantikan ketua BPD sebelumnya yang sedang sakit.
“Saya berharap dan menginginkan dengan menjadi bagian dari unsur pemerintahan desa membuatnya lebih maksimal memperjuangkan akses pelayanan kesehatan masyarakat khususnya bagi kaum perempuan dan anak di desa ini,” ujarnya.
Warga Desa Sungai Raya Dalam, Nurbaiti (41) mengaku tergerak ikut menjadi kader Posbindu PTM di desa lantaran dia melihat masih ada sebagian kalangan masyarakat yang belum pro aktif dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Mskipun saat ini pemerintah sudah menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis bagi masyarakat desa.
“Saya dan teman-teman lain bisa terjun langsung menyambangi masing-masing rumah warga untuk turut mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan dalam upaya mendeteksi dini adanya potensi penyakit tidak menular dan sejenisnya. Kalau diketahui sejak awal maka akan bisa lebih mudah untuk ditangani,” jelasnya.
Nurbaiti pun berharap dengan semakin banyaknya kader kesehatan bergerak mengedukasi masyarakat, maka akan membuat pemahaman masyarakat mengenai pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan menjadi lebih baik.
Secara terpisah, Kepala Desa Sungai Raya Dalam, Khairil Anwar menilai keterlibatan kaum perempuan yang tergabung dalam kader Posyandu dan Posbindu sangat diperlukan untuk turut mengedukasi dan memberikan pemahaman bagi masyarakat mengenai pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan.
Sejauh ini Khairil Anwar melihat, cukup banyak kader perempuan di Desa Sungai Raya Dalam yang sudah memiliki wawasan dan pengetahuan sudah baik karena sebelumnya juga sudah banyak berkecimpung dalam kegiatan pengembangan kapasitas diri seperti sekolah paradigta dan beberapa organisasi masyarakat lainnya.
“Saya melihat keterlibatan kaum perempuan untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman bagi masyarakat secara bertahap sudah membuahkan hasil dan ini bisa dilihat dari kian baiknya tingkat kesadaran masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di desa,” papar Khairil Anwar.
Melihat kian baiknya potensi dan kapasitas kader perempuan di desanya membuat Khairil Anwar pun memberikan ruang bagi kaum perempuan di desanya untuk berkontribusi lebih besar dalam membangun desa.
“Peluang ini sudah kami berikan bagi para kader perempuan di desa yang ingin berkontribusi membangun desa. Misalnya Ketua Badan Permusyawaratn Desa (BPD) Sungai Raya Dalam itu dipimpin oleh perempuan.
Diharapkan dengan keterlibatan kaum perempuan di BPD ini, juga bisa memperjuangkan aspirasi masyarakat khususnya kaum perempuan agar bisa lebih berdaya dalam membangun desa dan berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa,” pungkasnya. (*)

Jawab Keraguan Warkop ‘Bukan’ untuk Perempuan, Efi Lee: Jangan Takut dengan Stigma

Siang itu, saya mengunjungi ke Warung Kopi (Warkop) 7odo (baca: jodo) di Jalan Prof. M. Yamin, Kota Pontianak. Dari parkiran, terdengar ruko dua lantai itu riuh oleh suara para pemain gim. Tampak pula beberapa pria yang mengenakan kemeja rapi seperti para pekerja lepas, sedang sedang berdiskusi tentang berbagai pekerjaan.

Oleh: Shella Rimang 

Warkop yang berdiri pada 2018 itu sama sekali tak berubah, tak ikut-ikutan tren kafe kekinian yang digandrungi para anak muda.

Memasuki warkop, saya disambut perempuan berambut panjang dan bermata sipit yang tidak asing. Orang-orang banyak memanggilnya Cece. Namanya Margareta Efi atau lebuh dikenal sebagai Efi Lee. Hampir setiap pengunjung yang datang disapa oleh Cece, termasuk juga saya.

Efi yang merupakan ibu tunggal, memiliki satu anak perempuan yang sedang berkuliah di Jakarta. Sang anak adalah penyemangat hidupnya. Sebagai seorang perempuan plus ibu, ia paham masalah ekonomi dalam keluarga menjadi salah satu faktor penting.

Tak heran, jika perempuan juga dituntut untuk bisa produktif, selain karena tuntutan tapi juga pembuktian diri bahwa perempuan juga mampu berkembang dan maju dalam hal ekonomi.

Efi, selain memiliki bisnis minuman, ia juga memiliki bisnis transportasi. Sejak usia muda ia dikenal jago dalam berbisnis, jeli melihat peluang dan cerdas dalam melihat trend. “Harus percaya diri. Apapun usahamu, mau kecil mau besar yang penting tidak malu dan mau belajar,” ujar dia.

Peragainya yang sederhana, mampu membawa usahanya berkambang dalam tempo yang cukup singkat. Berbagai kursus singkat terkait usaha ia ikuti, banyak mendengar kisah sukses para perempuan dunia menjadi salah satu kesukaannya.

Tokoh menginspirasi, terutama perempuan yang mambawa perubahan membuat makin termotivasi untuk lebih  banyak belajar dan berbagai ilmu yang sudah ia dapat.

Ini juga menjawab keraguan banyak pihak bahwa bisnis warkop bukan untuk perempuan.

“Di luar sana masih banyak yang beranggapan, bahwa kaum kita tak mampu. Padahal sebaliknya ini bagi saya tantangan dalam menjawab itu,” kata dia tegas.

 

Efi Lee, Pemilik Warkop 7odo

 

Bisnis warkop adalah bisnis menjanjikan di Kota Pontianak yang minim aset alam. Hanya mengandalkan cita rasa dan pelayanan prima dan kegigihan, usaha serupa akan cepat melesat.

Khusus untuk usaha warkop, perempuan yang pernah merantau ke Jakarta itu sangat tertarik. Menurutnya, interaksi yang didapat dalam usaha tersebut sangat luas karena bisa bertemu siapa saja dengan berbagai tipe dan isi kepala.

“Itu jatohnya aku sendiri yang cewek. Cara mengelolanya beda kayaknya antara perempuan dan laki-laki,” tutur Efi.

Ia  menjelaskan perbedaan antara pengelola perempuan dan laki-laki terletak pada hal-hal detail. Perempuan cenderung memperhatikan detail sekecil apa pun, sementara laki-laki lebih cuek dan lebih fokus pada pendapatan. Namun, kata dia, hal itu kembali lagi pada masing-masing pribadi.

Usaha warkop umumnya dikelola kaum pria, jarang ada wanita yang mau terlibat dalam bisnis ini, mengingat risiko diskriminasi hingga pelecehan rentan terjadi. Mungkin sebagian orang menganggap warkop tidak sekeran cafe modern dengan latar dan dekorasi menarik, pilihan kopi lokal dan luar negeri lengkap, tapi warkop menawarkan area tersendiri bagi pengunjung,  terutama dalam mengedepakan suasana ramah, nyaman dan akrab.

Potret Warkop 7odo tampak depan.

 

 

Tampilan salah satu menu, kopi susu di Warkop 7odo.

 

 

Sebagai seorang pengusaha yang tidak hanya bergerak dalam satu bisnis saja, tantangan kerap ia hadapi. Baik tudingan bahwa ia tidak kompeten hingga omongan miring tentang bisnis yang ia geluti.

Usahanya pun memprioritaskan pekerja perempuan yang membutuhkan pekerjaan tanpa ditanya ijazah dan sejenisnya.

“Tidak perlu pakai ijazah. Kebanyakan yang bekerja di sini mereka yang memang membutuhkan biaya untuk hidup. Tangguhlah mereka, yang penting pegang prinsip dan bertanggungjawab serta tahan banting dalam bekerja karena jam operasional kita sampai malam,” katanya.

Merekrut para pekerjanya yang kebanyakan adalah perempuan salah satu upaya Efi untuk mendidik para perempuan yang bekerja meraih setiap peluang yang ada untuk maju kepada peluang yang lebih terbuka.

“Jika ingin pengalaman bekerja, tidak ada salahnya bekerja. Tidak masalah di mana yang penting bisa dipertanggungjawabkan,” ucapnya.

Ia memberikan kesempatan bagi semua karyawanya, baik pria dan wanita untuk berkreasi dalam hal kualitas minuman yang disajikan. Efi juga kerap melatih kayawannya cara meracik minuman. Kerap berdialog hingga rapat mengenai hal-hal baru guna memberikan motivasi kepada karyawanya.

“Ini penting agar mereka betah kerja, ” ucapnya.

Efi Lee dan salah satu karyawannya, Heni.

Selain itu, yang paling penting kata Efi, ia tak pernah merasa bahwa dirinya bos. Dengan demikian, pendekatan personal pada karyawan atau pada para pelanggan akan berjalan baik.

Efi membagikan beberapa tips untuk para perempuan yang berusaha dan baru mulai atau ingin merintis usaha. Menurutnya, perempuan harus percaya diri yang dibarengi dengan pikiran positif. Tujuan jelas harus menjadi visi dalam setiap usaha, salah satunya membuka lapangan kerja untuk yang membutuhkan, terutama kaum perempuan.

“Kalau misal udah punya usaha, jangan down. Terus aja mikir kalau saya bisa. Perempuan harus bisa berkerja meskipun usahanya itu penuh risiko, seperti bisnis warung kopi ini. Biasanya lebih dikelola para pria tapi, saya percaya diri mampu mengelolanya dan terbukti sekarang,” paparnya.

Baginya, gender tidak menjadi penghalang bagi perempuan terjun ke bisnis warkop yang cenderung mendapat sentimen dan stigma negatif. Apalagi jika perempuan terlibat dalam bisnis ini.

“Salah pengelolaan kesannya pasti negatif. Makanya jangan mudah menyerah.kita sebagai seorang perempuan jangan mau kalah dalam hal pengelolaan. Stigma itu pasti ada tapi lewati saja, jangan takut itu intinya,” ujarnya.

Seperti diungkapkan Gebby Vebrianti, salah satu karyawan perempuan di Warkop 7odo. Umurnya baru 17 tahun, irit sekali berbicara tapi memiliki senyum manis memikat. Gebby tumbuh besar di Bekasi, dan masih duduk di kelas 2 SMA.

Di usianya yang relatif muda ini ia membuat pilihan ‘nyambi’ bekerja dan bersekolah. Dengan khas sifat anak mudanya, Ia tertantang untuk mengetahui bagaimana rasanya bekerja. Selain itu, tuturnya, agar lebih mandiri, sambil membantu kakaknya membayar biaya sekolah.

“Tentu kerjaan ini membantu meringankan beban biaya sekolah, sisanya ditabung dan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar gadis remaja ini.

Gebby sudah bekerja sekitar lima bulan di Warkop 7odo. Menurutnya, jika tidak bekerja pun tidak masalah.

Pasalnya, memilih sekolah sambil bekerja memang keinginan dirinya sendiri agar tidak merepotkan orang tua dan merasa lebih bebas jika ingin membeli keperluan pribadi dengan uang yang dihasilkan sendiri.

Gebby, karyawan Warkop 7odo yang masih sekolah, asal Ambawang.

Meski masih belia, Gebby mengatakan tak terbebani sekolah sambil bekerja. Namun untuk rencana ke depan, ia masih meraba-raba.

Gebby pun mengatakan bahwa dirinya tidak ingin menghiraukan omongan orang lain yang masih menstigma negatif para pekerja di warkop. Walaupun masih banyak variasi pekerjaan di tempat lain, Gebby mengaku nyaman bekerja di Warkop 7odo. Sebab, kata dia, mendapatkan pekerjaan jika masih sekolah sangat susah.

“Merasa nyaman bekerja dengan bos perempuan. Kerjanya juga nggak gimana-gimana. Walaupun banyak yang meragukan bahkan meremehkan kerja di warkop tapi selama kita lurus, yaa santai aja, apalagi pemilik sangat baik,” tuturnya.

Nurhaini, pekerja perempuan yang lain berpendapat sama. Gadis asal Anjungan, Kabupaten Mempawah mengaku sudah bekerja sekitar tiga tahun di Warkop 7odo.

Sudah nyaman, begitulah alasannya saat ditanya mengapa bertahan selama bertahun-tahun.
Sama seperti Gebby, Heni pun memilih tak menanggapi pandangan negatif orang-orang di kampung halamannya tentang lingkungan bekerjanya sekarang.

Impian mereka sangat sederhana. Berharap apa yang mereka lakukan bisa meningkatkan kepercayaan diri saat berinteraksi dengan banyak pihak, mandiri dan menjadi perempuan yang mampu menjawab tantangan zaman.

Peluang Produk Lokal, Mandirikan Perempuan Sekitar

Tak banyak sosok perempuan desa yang ingin membuat perubahan, meskipun perubahan tersebut sedikit. Namun,  membawa dampak baik bagi lingkungan sekitarnya. Seperti yang dilakukan Nurhayati, perempuan berusia lebih dari setengah abad ini terus memberikan kontribusi bagi lingkungan sekitarnya.

Oleh: Nova Sari

Namanya Nurhayani. Ia berusia 56 tahun. Meskipun tak lagi muda, tapi ia masih terlihat energik, senyum lembutnya menyapa saat menyambangi rumahnya di Desa Ampera Raya, Kecamatan Sungai Ambawang, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Sebagai orangtua tunggal ia dikenal sebagai perempuan pantang menyerah, ulet dan tak pelit berbagi ilmu. Tak jarang, ia memberikan mengajarkan keterampilan bagi perempuan didesanya.

Bekerja sebagai pengajar di PKBM Mitra Sehati juga mengembangkan usaha khas lokal Amplang sejak 2009, tepatnya 12 tahun lalu. Amplang adalah jajanan jenis kerupuk yang diolah dari bahan dasar ikan dan tepung.

Menjadi janda pukulan berat baginya, terlebih dengan tiga anak yang harus diasuh tanpa pekerjaan maupun peninggalan sang suami membuat kehidupan Nurhayani makin sulit. Ia pun dituntut untuk makin bekerja keras. Berbagai profesi ia lakoni sebelum akhirnya bersungguh-sungguh menggeluti usaha Amplang ini.

Berbagai cara dilakukan Nurhayani dalam menjalankan usahanya tersebut, terlebih waktu diawal-awal membangun usaha, meminta sumbangan, kemudian membuat proposal untuk mengembangkan usahanya itu juga pernah ia lakukan. Akan tetapi hasil yang peroleh tidak sesuai harapannya,
namun tekat dan semangat yang tinggi dengan modal seadanya membuat Nurhayani bangkit.

Hari ini siapa yang tidak kenal Amplang ‘Bu Nur’ di Kota Pontianak dan sekitarnya. Usaha rumahan yang juga menghasilakan omset yang lumayan.

Tak hanya itu, berkat usahanya yang cukup sukses ini ia pun merekrut para Ibu rumah tangga yang datang kepadanya meminta pekerjaan.

Kini kesuksesannya itu ia bagi dan melatih banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga yang ingin membuka asaha Amplang. Bahkan, ia merekrut para ibu rumah tangga yang ingin menambah penghasilan. Ia pun tidak mematok harus memiliki keahlian khusus bagi setiap karyawannya tapi
harus jujur dan gigih dan mau belajar.

Tak ayal, ia kerap memberikan pelatihan bagi karyawannya maupun para ibu rumah tangga yang ingin membuat usaha serupa. Dari binaan inilah, Ia dan beberapa perempuan ikut bergabung dalam memproduksi pembuatan kerupuk Amplang.

“Saya berikan pembinaan, saya ajarkan bagaimana cara membuat, bahan-bahan yang harus disiapkan, kita saling berbagi, ada bagian yang mengadon bahan, memotong-motong, menggoreng, packing hingga yang memasarkan kami ada bagiannya, tapi untuk penjualan memang siapa saja semua yang membantu boleh menjual,” kata Nurhayani.

Tak hanya itu, melihat masih banyak anak-anak di sekelilingnya yang putus sekolah, ia mengusulkan program di PKBM untuk kegiatan yang membina anak-anak putus sekolah mengakselerasi minat dan bakat, yang ia buka dikediamannya.

“Kita latih anak-anak dengan progam yang ada, terutama minta berwiraswasta. Kita ajarkan sejak dini. Untuk para ibunya, kita ajarkan cara membuat jajanan lokal kita. Para perempuan juga kita berikan kiat-kiat bisnis bagaimana, sehingga tahu pemasaran dan harus dijual seperti apa,” ujarnya.

Dari program  tersebut, banyak perempuan desanya yang memilih bergabung dengan usaha Amplang miliknya. Ia yakin, dengan merekrut para ibu rumah tangga, kualitas hidup warga desanya akan semakin baik. Karena, di tempatnya tidak hanya bekerja tapi juga belajar menjadi lebih baik dalam pengelolaan keuangan dan kemandirian dalam keluarga. “Saya ingin baik anak-anak maupun perempuan bisa maju,” ucapnya.

Dalam menjalankan usahanya, optimis dan pantang menyerah menjadi motto dalam menjalankan usaha. Mekipun bukan usaha skala besar tapi berkatnyalah banyak perempuan rumah tangga di lingkungan sekitarnya mulai berani terbuka dan lebih mandiri.

Letak Desa Ampera Raya yang cukup jauh dari area pusat kota menjadi salah satu penyebab para wanita di desa tersebut minim pengetahuan dan akses publik sehingga tak heran banyak di antara para ibu rumah tangga tersebut hanya mengandalkan penghasilan suami mereka.

Namun, adanya usaha yang dirintis Nurhayani, para perempuan desa itu setidaknya bisa belajar banyak dari kisah kemandirian yang selama ini belum berani mereka lakukan.

“Mereka masih takut-takut untuk mandiri, berbicara hingga kita pelan-pelan ajarkan untuk bisa sendiri,” ungkapnya.

Bicara perubahan hidup, ini juga dialami Yati yang sudah merasakan bantuan dan jasa Nurhayani. Sejak beberapa tahun ikut serta membantu usaha Amplang, banya hal sudah ia pelajari, dari mulai tanggung jawab, mandiri dan belajar keterampilan dalam managemen usaha.

Ia awalnya hanya ibu rumah tangga biasa tanpa bekerja, namun, saat dirinya mengikuti kelas belajar usaha yag dibina Nurhayani kondisi ekonomi keluarga memaksakan wanita yang hidup sebatang kara ini sudah ikut bersama Nurhayani sejak tahun 2012 lalu. Lantaran fisiknya yang sudah tidak kuat seperti dulu.

“Saya sudah lama bergabung bersama ibu Nur membuat amplang, tentu pekerjaan saya ini sangat membantu. Apalagi saya yang bisa dibilang sebatang kara, suami meninggal anak tidak ada, cuma ada anak angkat saja,” kata dia.

Untuk upah yang diterima Yati dalam membuat amplang ini, perharinya dia ada ia menerima Rp30.000 dalam setiap pembuatan amplang. Namun upah ini tergantung dari seberapa banyak Amplang yang dibuat. Yati mengaku terbantu dengan adanya pembuatan amplang yang dibuka oleh Nurhayani,

“Selain membantu usaha amplang Ibu Nur, bersyukur saya juga mendapatkan bantuan dari Pemerintah bagi warga yang tidak mampu seperti saya,” ucapnya

Di kondisi pandemi seperti saat ini dikatakan Nurhayani, tentu berdampak pada penjualannya, namun begitu usaha kerupuk amplang ini masih terus berlanjut.

Usaha mikro menegah memang merupakan lahan keuntungan yang menjanjikan. Data Dinas Koperasi dan UMKM Kalbar, mencatat ada sekitar 42.000 UMKM di Kalbar. Dari jumlah tersebut, UMKM perempuan mendominasi.

Anggota Parlemen Perempuan Kalbar, Suma Jenny merespons para pelaku UMKM perempuan yang dianggap mampu membawa perubahan ekonomi daerah.

Perempuan saat ini bisa bebas dalam memilih karirnya, terutama bagus yang ingin berbisnis, baik usaha kecil maupun menengah. Saat ini, perempuan dituntut mandiri dan kreatif,  terutama perempuan dalam
rumah tangga.

Kata dia, pola pikir para perempuan sudah mulai terbuka dengan memafaatkan banyak peluang yang ada.

“Jangan takut memulai, harus berani. Jika perempuan tidak memiliki pikir ke depan akan susah untuk menghadapi era persaingan hidup,” ujarnya.

Untuk mempermudah usaha kecil menengah, pihaknya membuat berbagai kebijakan dan rencana untuk membantu para perempuan yang ingin membuka usaha.

Membatik dengan Hati, Priska Ajak Perempuan Percaya Diri dan Mandiri

Membatik sudah menjadi hobi Priska Yeniriatno sejak duduk di bangku kuliah. Berbekal ilmu membatik yang diperoleh saat di Yogyakarta, Priska mengembangkan kampung wisata batik di kota kelahirannya, Singkawang. Saat ini ia telah memiliki tiga kampung wisata batik di tiga penjuru kota dan telah membina puluhan perempuan menjadi pembatik.

Oleh: Syahriani Siregar

Terletak di tiga penjuru Kota Singkawang, yaitu Singkawang Barat, Singkawang Timur dan Singkawang Selatan, kampung wisata batik menjadi destinasi wisata baru Kota Singkawang. Di mana wisatawan bisa berkunjung melihat proses produksi batik, membelinya untuk oleh-oleh dan mengikuti workshop membatik.

Kampung wisata batik membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Sejatinya sebagai fasilitas tempat, ilmu, pencarian dana dan event bagi masyarakat yang ingin membatik.

Berdiri pada 1 Agustus 2019. Di dua bulan pertamanya kampung wisata batik sudah menghasilkan 79 kain, memiliki puluhan pembatik dan telah mengadakan edukasi batik melalui pementasan teater pada Oktober 2019.

Sebagian besar karyanya adalah batik tulis dengan motif yang bertema etnik. Ada juga batik cap. Tentunya banyak memuat motif suku-suku besar di Kalimantan Barat seperti Dayak, Melayu dan Tionghoa. Ada pula corak yang ia bikin sendiri, biasanya terinspirasi dari kehidupan sosial masyarakat atau budaya lokal. Priska juga kerap menggambar tema tumbuhan dan hewan lokal.

Menjadi seorang misionaris batik adalah keinginan Priska. Baginya misionaris batik bukan hanya memperkenalkan batik tetapi juga memperkenalkan adab Kalbar lewat motif yang dituangkan pada kain. Apa yang telah digapainya sekarang memiliki jalan panjang yang berliku dan masih harus terus diperjuangkan. Ia telah mengalami jatuh bangun berkali-kali.

Priska dilahirkan dari latar belakang keluarga pendidik, Bapak dan ibunya adalah seorang guru yang merupakan pegawai negeri sipil. Lulus SMA, Priska justru ingin melanjutkan ke sekolah seni. Tapi sayang, orang tuanya tidak mengizinkan.

“Orang tua saya berpendapat kalau perempuan lebih aman bekerja kantoran atau menjadi PNS. Masa depan lebih terjamin ketimbang menjadi seniman,” ujar perempuan kelahiran Singkawang, 23 Januari 1988 ini.

Akhirnya Priska memilih jurusan ekonomi. Sewaktu kuliah di Jogja, perempuan 33 tahun ini justru belajar membatik untuk mengisi waktu senggangnya. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa tingkat akhir di tahun 2010. Ia belajar bersama seorang seniman yang merupakan kerabat ayahnya. Di Jogja, Priska diajarkan tentang ‘rasa’, metode pembelajaran klasik sangat dirasakan Priska bersama Eyang yang berdarah Jawa.

Lulus kuliah tahun 2011, ia pulang ke kampung halaman dengan mengantongi ijazah Sarjana Ekonomi. Bertujuan memanfaatkan ijazahnya tersebut, lulusan ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini menjadi karyawan sebagai staf akunting di satu di antara perusahaan swasta di Kota Amoi tersebut, sambil menjalankan toko baju yang telah ia dirikan sejak 2008 silam.

Dua tahun menjalani kerja kantoran, Priska merasa tak sanggup. Ia memiliki banyak uang namun tak merasa bahagia, tak punya banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Ia pun sempat masuk rumah sakit tiga kali karena kelelahan dan banyak pikiran.

Merasa bukan passion-nya, tahun 2013 Priska mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Namun sayang, pada tahun yang sama, ia juga harus menutup tokonya karena terbengkalai, usahanya tersebut bangkrut.

Priska coba menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya. Ia berpikir, apa yang akan dilakukan dengan materi yang tersisa? Nekat, ia memutuskan untuk membeli rumah. Dengan modal dari tabungannya dan sedikit pinjaman dari orang tua, Priska membeli rumah kosong yang terletak di Cisadane, Singkawang Barat.

Berbekal rumah kosong dan hobi membatik, ia membuka rumah batik. Letaknya strategis, di jantung kota dan dekat dengan kawasan mall. Rumah inilah yang kemudian menjadi markas kampung wisata batik pertamanya.

“Awalnya saya buka rumah batik dan spa. Membatik hanya untuk kesenangan sendiri saja. Ternyata makin lama makin ramai orang tertarik. Bukan ke spa tapi justru lihat pembatikan, mulai banyak yang minta kursus membatik juga. Akhirnya spa saya tutup dan fokus pada pembatikan,” kenang Priska.

Tahun 2014, Priska memperoleh kesempatan untuk membina 28 orang ibu-ibu rumah tangga yang ada di pinggiran Kota Singkawang. Sebelumnya, ibu-ibu tersebut membantu suaminya mencari nafkah dengan mengambil upahan panen ladang. Dalam masa empat bulan Priska membina ibu-ibu tersebut dengan bantuan dana dari Kementerian.

“Ternyata dari sana saya sadar, bahwa hobi yang sangat menyenangkan dan sangat mudah buat saya ini tidak berlaku untuk orang lain. Dari 28 orang yang saya bina sampai masa 4 bulan hanya bertahan 8 orang saja yang menyelesaikan program belajar membatik,” jelas Priska.

Tapi dari pembinaan tersebut Priska menjadi tidak sendirian. Di tahun tersebut ia menemukan teman-teman yang tertarik pada batik, menjadi satu visi dan misi untuk membangun rumah batik menjadi galeri workshop yang sekarang diberi nama Galeri Workshop Kote Singkawang. Namun, lagi-lagi jalan yang harus ditempuh masih berliku.

MEMBATIK: Rosvanty Erlin (kaos merah) dan beberapa pembatik perempuan sedang membatik di kampung wisata batik penjuru timur Singkawang. DOK/IST

MEMBATIK: Rosvanty Erlin (kaos merah) dan beberapa pembatik perempuan sedang membatik di kampung wisata batit penjuru timur Singkawang. DOK/IST

Pada tahun 2015, setahun berproses Galeri Workshop Kote Singkawang ternyata belum berjalan dengan baik seperti yang diharapkan, keluar masuknya teman-teman yang ikut berproses menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi Priska.“Yang paling berat adalah mengubah mindset mereka, kebanyakan mereka berpikir ‘aduh, barang seperti ini mampu laku berapa sih?’, ‘terus jualnya mau kemana ya, kan barang mahal?’ Pemikiran seperti itulah yang terus menerus perlu saya luruskan ke masyarakat setempat agar percaya diri dan mandiri,” ungkapnya.

Galeri Workshop Kote Singkawang terus mengembangkan diri, hingga akhirnya ia mendapatkan tim yang solid.

“Yang kami berdayakan adalah pengangguran, anak muda putus sekolah dan orang-orang yang terdiskriminasi karena social punishment setelah keluar dari penjara, dan juga ibu-ibu rumah tangga yang ikut membantu suami mencari nafkah,” imbuhnya.

Hingga pada tahun 2019 ia menjawab tantangan dari pihak sponsor untuk membangun kampung wisata batik. Dengan kesempatan itu, ia membangun kampung wisata batik di tiga penjuru kota dengan nama ‘Kampung Wisata Ragam Corak Singkawang Tiga Penjuru’.

Galeri Workshop Kote Singkawang di Cisadane yang berada di penjuru barat jadi markas pertama, kemudian ia memilih Nyarumkop di penjuru timur serta Sedau di penjuru selatan.

JEMUR: Proses penjemuran kain batik. DOK/IST

Semakin terkenal, workshop membatik yang dilakukan membuat mereka percaya diri dan bersemangat. Kunjungan demi kunjungan wisatawan yang ingin belajar membatik dan membeli batik datang dari berbagai daerah. Kunjungan dari Pertukaran Pelajar Antar Negara, dari berbagai kampus yang ada di wilayah Kalbar, kunjungan sekolah-sekolah, kunjungan Ibu-ibu PKK, kunjungan dari berbagai instansi dan perusahaan-perusahaan yang melakukan gathering menyempatkan diri untuk workshop membatik.

“Bahkan ada kunjungan dari para wisatawan mancanegara yang melihat kami dari akun Facebook (Taiwan, Thailand, Prancis). Kunjungan tidak hanya pada Galeri Workshop Kote Singkawang tetapi juga pada tiga wilayah kampung batik yang kami bangun,” ungkapnya.

KARYA: Beberapa hasil karya para pembatik kampung wisata batik di tiga penjuru.
Kain ini sudah laris manis terjual semuanya. DOK/IST

Seakan dibukakan jalan, bersama tim ia bisa meraih beberapa prestasi dan mengikuti beberapa pameran baik dalam kota, luar kota bahkan luar negeri.

Pameran menjadi salah satu targetnya untuk mempromosikan batik bersama produk lainnya. Dari awal berproses hingga kini, berbagai pameran dan ribuan kain batik telah dihasilkan oleh Priska dan teman-teman.Priska merasa bahagia sekaligus terharu atas apa yang telah diperolehnya saat ini. Hobi yang dilakukannya tanpa beban dan diyakininya bisa menjadi ruang meditasi untuk dirinya berpikir jernih ternyata bisa menjadi manfaat untuk orang-orang di sekitarnya.

“Saya mencoba membuka rumah batik awalnya tidak dengan harapan yang muluk-muluk. Saya hanya ingin bisa mengenalkan, mengajarkan membatik dan berbagi cerita tentang batik. Ternyata semua itu menjadi candu dan membawa rezeki yang lebih tidak hanya buat saya sendiri tetapi mampu memandirikan saya dan orang di sekitar saya,” ujar perempuan berdarah Jawa ini.

KUMPUL: Priska dan timnya biasa berkumpul di waktu senggang. Kekompakan dan rasa kekeluargaan sangat diutamakan mereka. DOK/IST

Tambah Penghasilan

Wahyu Sri Nurhani, 36 tahun, ia merupakan satu dari 28 ibu-ibu yang mengikuti pelatihan membatik oleh Priska pada tahun 2014. Diakui Wahyu, sejak bisa membatik, ekonomi keluarganya turut terbantu. Ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak ini dulu hanya bisa berladang, kini ia bisa membantu suaminya mencari nafkah.

“Merasa bersyukur karena dapat menambah penghasilan keluarga, sebelumnya hanya bergantung dari hasil upah suami yang menjadi buruh peternak ayam,” ujar Wahyu yang berada di kampung wisata batik penjuru selatan.

Semenjak ada kampung wisata batik tahun 2019, Wahyu semakin banyak mendapat pesanan batik tulis. Wahyu mengambil bagian dalam proses pencantingan. Dalam satu hari ia bisa menyelesaikan satu kain dengan panjang dua meter, sehingga tujuh kain batik dapat diselesaikannya dalam seminggu.

“Per kain saya bisa mendapatkan Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Biasanya  setiap hari ada pemesanan dan pengerjaan. Namun semenjak pandemi pemesanan sedikit menurun, seminggu hanya 2-3 kain saja. Pesanan banyak saat adanya event pameran, sementara pameran belum bisa dilakukan sekarang ini. Semoga pandemi segera berlalu,” ujar Wahyu.

Walau pemesanan sedikit berkurang karena pandemi, Rosvanty Erlin juga merasa sangat terbantu semenjak bergabung dengan kampung wisata batik penjuru timur.

Perempuan 37 tahun ini bisa menambah penghasilan sehari-hari dan biaya anak sekolah dari kemampuannya membatik.

Ibu tiga anak ini berharap semoga bisa terus berkarya dan berkembang lebih baik ke depannya. “Semoga semua pihak mendukung kegiatan kami. Senang bisa menjadi bagian dari kampung wisata batik yang sangat memotivasi, saling mendukung dan kompak,” tutur Rosvanty.**

Dorong Perempuan jadi Agen Perdamaian

PONTIANAK – Potensi dalam diri perempuan mempunyai kesinambungan dalam membumikan nilai- nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Maka, perempuan sangat strategis perannya untuk berkontribusi aktif menciptakan perdamaian. Hal inilah yang kemudian dibahas dalam Webinar Pontianak Rumah Bersama ‘Perempuan Sebagai Agen Perdamaian’, yang digelar oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) dengan dukungan Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Senin (22/2/2021).

 

Ketua Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian Dan Keadilan Gender (Alpekaje), Norberta Yati, mengawali pertemuan dengan menceritakan keterlibatan perempuan dalam ikhtiar-ikhtiar perdamaian sebuah konflik, hingga aliansi yang ia pimpin itu lahir.  Menurutnya, keterlibatan perempuan amat minim dalam upaya perdamaian, padahal Kalimantan sempat mengahdapi banyak konflik suku dan antar golongan.

“Perempuan kurang terlibat dalam upaya perdamaian pada masa itu (konflik, red),” ungkapnya.

Singkat cerita, pada tahun 2009, digelar Kongres Perempuan yang terwujud berkat kehadiran 300 perempuan yang berasal dari Kalbar, Kaltim, dan Kalteng. Dari kongres ini, terbentuklah Alpekaje. Melalui wadah itu, sejumlah program berjalan, terutama yang bertujuan membangun pendidikan perdamaian bagi perempuan. Program ini menyasar kalangan akar rumput hingga aktivis, guna menggali potensi perempuan untuk membangun perdamaian.

“Perempuan sebenarnya sudah dititipkan tanggung jawab untuk itu (agen perdamaian, red),” ucapnya.

Alpekaje sempat vakum, namun kemudian aktif kembali setelah resmi berbadan hukum pada tahun 2018. Sejak itu pula, organisasi ini mulai melanjutkan kembali tugasnya, melalui program-program pendidikan perdamaian yang kini diintegrasikan dengan kepemimpinan perempuan. Lewat program ini, Alpekaje berusaha menciptakan agen-agen perdamaian dan perubahan ditingkat akar rumput.

Namun dalam mewujudkan peran perempuan sebagai agen pedamaian itu, menurutnya ada banyak tantangan, terutama perempuan yang kerap mendapatkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender itu, diantaranya marginalisasi terhadap perempuan, beban ganda, kekerasan, dinomorduakan, hingga pelabelan negatif terhadap perempuan. Nah, dalam kondisi ini, bagaimana mungkin perempuan bisa menjadi agen perdamaian ketika kondisi ketidakadilan gender itu masih terjadi?

“Maka kita perlu membangun kesadaran dalam diri kita, mengubah diri menggunakan sumberdaya, kekuatan, keterampilan dalam struktur dan proses inklusif, demi mewujudkan kesetaraan dan HAM,” jelasnya.

Mita Anggraini, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura, menceritakan pengalamannya ketika menjadi peserta Workshop ‘Diplomasi Peran Serta Perempuan dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan’ yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri. Dalam salah satu sesi workshop tersebut, dirinya menyimpulkan bahwa dalam kondisi konflik perempuan kerap menjadi objek.

“Perempuan itu ketika dalam kondisi perang, akan selalu menjadi korban. Ketika laki-laki (suami, red) pulang dalam keadaan memenangkan peperangan, saat di rumah minta dilayani seperti raja. Namun jika kalah, ia akan melampiaskan kekalahannya pada perempuan. Sehingga baik di posisi menang atau kalah, perempuan selalu menjadi korban,” cerita dia.

Soal kepemimpinan, menurutnya masih ada yang menganggap perempuan tidak mampu, tersebab pelabelan negatif yang disematkan, seperti perempuan dianggap lemah, baperan, tidak bisa objektif, dan lain label negatif lainnya. Pengalaman tersebut ia rasakan sendiri karena ia menjabat posisi sebagai ketua di salah satu UKM di kempusnya. Stigma buruk terhadap kepemimpinan perempuan diakuinya masih ditemukan.

Karena itulah, dia menilai perempuan harus membuktikan diri mampu menempati posisi strategis. Dengan posisi yang strategis itu pula, maka mereka bisa mengakomodir kepentingan perempuan.

Dosen IAIN Pontianak, Ria Taqwa menilai, sebelum mengatasi konflik dan mewujudkan perdamaian, maka seorang perempuan mampu harus mengenal dirinya. Bahwa, secara naluriah perempuan lebih cenderung dekat pada nilai kemanusiaan dan perdamaian.

“Substansinya adalah pada diri kita, diri kita ini mau berdamai atau tidak. Diri kita ini mau menyelesaikan konflik atau tidak. Setelah itu selesai, barulah kita baru bisa menyelesaikan konflik di luar,” tuturnya.

Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur, menilai ada banyak contoh-contoh perempuan yang mampu menjadi agen perdamaian. Itu karena sifat-sifat feminim yang ada lebih besar pada diri perempuan. Sifat feminim, antara lain yakni kepedulian, mudah memaafkan, kasih sayang, dan kemanusiaan, yang lebih cenderung membuat perempuan lebih mudah tergerak untuk mewujudkan perdamaian. Meski begitu, sifat feminim itu juga ada pada dalam diri laki-laki.

“Sifat feminim itu bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Tetapi dalam realitanya lebih banyak dimiliki perempuan. Itulah yang kemudian bisa dijadikan potensi perempuan sebagai agen perdamaian,” tuturnya.

Kegiatan ini dikutip oleh puluhan peserta dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari mahasiswa, perwakilan organisasi perempuan, hingga wartawan. Tak hanya perempuan, peserta juga datang dari kalangan laki-laki.