Educational technology and mobile learning
In order to write the perfect blog post, you need to break your content up into paragraphs. While most blog posts use paragraphs, few use them well. Take the time to put links in your blog post…
In order to write the perfect blog post, you need to break your content up into paragraphs. While most blog posts use paragraphs, few use them well. Take the time to put links in your blog post…
In order to write the perfect blog post, you need to break your content up into paragraphs. While most blog posts use paragraphs, few use them well. Take the time to put links in your blog post…
In order to write the perfect blog post, you need to break your content up into paragraphs. While most blog posts use paragraphs, few use them well. Take the time to put links in your blog post…
In order to write the perfect blog post, you need to break your content up into paragraphs. While most blog posts use paragraphs, few use them well. Take the time to put links in your blog post…
Or, would you prefer a straightforward response that covers key points and makes sense of abstract concepts? Though clarity is key, Google also places a high value on being thorough. This means marketers need to be careful…
Banyak warga tidak paham pentingnya mendapat akses pelayanan kesehatan. Hal ini membuat Nomi Nanda prihatin. Berbekal pengetahuan yang dimiliki sejak 2017, ia berinisiatif menjadi Koordinator Posyandu sekaligus Kader Pos Binaan Terpadu- Penyakit Tak Menular (Posbindu-PTM) di Desa Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Kerja kerasnya ini pun membuatnya diganjar sebagai Kader Generasi Sehat Cerdas (GSC) terbaik di Kalimantan Barat.
Siang itu, saya mengunjungi ke Warung Kopi (Warkop) 7odo (baca: jodo) di Jalan Prof. M. Yamin, Kota Pontianak. Dari parkiran, terdengar ruko dua lantai itu riuh oleh suara para pemain gim. Tampak pula beberapa pria yang mengenakan kemeja rapi seperti para pekerja lepas, sedang sedang berdiskusi tentang berbagai pekerjaan.
Oleh: Shella Rimang
Warkop yang berdiri pada 2018 itu sama sekali tak berubah, tak ikut-ikutan tren kafe kekinian yang digandrungi para anak muda.
Memasuki warkop, saya disambut perempuan berambut panjang dan bermata sipit yang tidak asing. Orang-orang banyak memanggilnya Cece. Namanya Margareta Efi atau lebuh dikenal sebagai Efi Lee. Hampir setiap pengunjung yang datang disapa oleh Cece, termasuk juga saya.
Efi yang merupakan ibu tunggal, memiliki satu anak perempuan yang sedang berkuliah di Jakarta. Sang anak adalah penyemangat hidupnya. Sebagai seorang perempuan plus ibu, ia paham masalah ekonomi dalam keluarga menjadi salah satu faktor penting.
Tak heran, jika perempuan juga dituntut untuk bisa produktif, selain karena tuntutan tapi juga pembuktian diri bahwa perempuan juga mampu berkembang dan maju dalam hal ekonomi.
Efi, selain memiliki bisnis minuman, ia juga memiliki bisnis transportasi. Sejak usia muda ia dikenal jago dalam berbisnis, jeli melihat peluang dan cerdas dalam melihat trend. “Harus percaya diri. Apapun usahamu, mau kecil mau besar yang penting tidak malu dan mau belajar,” ujar dia.
Peragainya yang sederhana, mampu membawa usahanya berkambang dalam tempo yang cukup singkat. Berbagai kursus singkat terkait usaha ia ikuti, banyak mendengar kisah sukses para perempuan dunia menjadi salah satu kesukaannya.
Tokoh menginspirasi, terutama perempuan yang mambawa perubahan membuat makin termotivasi untuk lebih banyak belajar dan berbagai ilmu yang sudah ia dapat.
Ini juga menjawab keraguan banyak pihak bahwa bisnis warkop bukan untuk perempuan.
“Di luar sana masih banyak yang beranggapan, bahwa kaum kita tak mampu. Padahal sebaliknya ini bagi saya tantangan dalam menjawab itu,” kata dia tegas.
Efi Lee, Pemilik Warkop 7odo |
Bisnis warkop adalah bisnis menjanjikan di Kota Pontianak yang minim aset alam. Hanya mengandalkan cita rasa dan pelayanan prima dan kegigihan, usaha serupa akan cepat melesat.
Khusus untuk usaha warkop, perempuan yang pernah merantau ke Jakarta itu sangat tertarik. Menurutnya, interaksi yang didapat dalam usaha tersebut sangat luas karena bisa bertemu siapa saja dengan berbagai tipe dan isi kepala.
“Itu jatohnya aku sendiri yang cewek. Cara mengelolanya beda kayaknya antara perempuan dan laki-laki,” tutur Efi.
Ia menjelaskan perbedaan antara pengelola perempuan dan laki-laki terletak pada hal-hal detail. Perempuan cenderung memperhatikan detail sekecil apa pun, sementara laki-laki lebih cuek dan lebih fokus pada pendapatan. Namun, kata dia, hal itu kembali lagi pada masing-masing pribadi.
Usaha warkop umumnya dikelola kaum pria, jarang ada wanita yang mau terlibat dalam bisnis ini, mengingat risiko diskriminasi hingga pelecehan rentan terjadi. Mungkin sebagian orang menganggap warkop tidak sekeran cafe modern dengan latar dan dekorasi menarik, pilihan kopi lokal dan luar negeri lengkap, tapi warkop menawarkan area tersendiri bagi pengunjung, terutama dalam mengedepakan suasana ramah, nyaman dan akrab.
Potret Warkop 7odo tampak depan. |
Tampilan salah satu menu, kopi susu di Warkop 7odo. |
Sebagai seorang pengusaha yang tidak hanya bergerak dalam satu bisnis saja, tantangan kerap ia hadapi. Baik tudingan bahwa ia tidak kompeten hingga omongan miring tentang bisnis yang ia geluti.
Usahanya pun memprioritaskan pekerja perempuan yang membutuhkan pekerjaan tanpa ditanya ijazah dan sejenisnya.
“Tidak perlu pakai ijazah. Kebanyakan yang bekerja di sini mereka yang memang membutuhkan biaya untuk hidup. Tangguhlah mereka, yang penting pegang prinsip dan bertanggungjawab serta tahan banting dalam bekerja karena jam operasional kita sampai malam,” katanya.
Merekrut para pekerjanya yang kebanyakan adalah perempuan salah satu upaya Efi untuk mendidik para perempuan yang bekerja meraih setiap peluang yang ada untuk maju kepada peluang yang lebih terbuka.
“Jika ingin pengalaman bekerja, tidak ada salahnya bekerja. Tidak masalah di mana yang penting bisa dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Ia memberikan kesempatan bagi semua karyawanya, baik pria dan wanita untuk berkreasi dalam hal kualitas minuman yang disajikan. Efi juga kerap melatih kayawannya cara meracik minuman. Kerap berdialog hingga rapat mengenai hal-hal baru guna memberikan motivasi kepada karyawanya.
“Ini penting agar mereka betah kerja, ” ucapnya.
Selain itu, yang paling penting kata Efi, ia tak pernah merasa bahwa dirinya bos. Dengan demikian, pendekatan personal pada karyawan atau pada para pelanggan akan berjalan baik.
Efi membagikan beberapa tips untuk para perempuan yang berusaha dan baru mulai atau ingin merintis usaha. Menurutnya, perempuan harus percaya diri yang dibarengi dengan pikiran positif. Tujuan jelas harus menjadi visi dalam setiap usaha, salah satunya membuka lapangan kerja untuk yang membutuhkan, terutama kaum perempuan.
“Kalau misal udah punya usaha, jangan down. Terus aja mikir kalau saya bisa. Perempuan harus bisa berkerja meskipun usahanya itu penuh risiko, seperti bisnis warung kopi ini. Biasanya lebih dikelola para pria tapi, saya percaya diri mampu mengelolanya dan terbukti sekarang,” paparnya.
Baginya, gender tidak menjadi penghalang bagi perempuan terjun ke bisnis warkop yang cenderung mendapat sentimen dan stigma negatif. Apalagi jika perempuan terlibat dalam bisnis ini.
“Salah pengelolaan kesannya pasti negatif. Makanya jangan mudah menyerah.kita sebagai seorang perempuan jangan mau kalah dalam hal pengelolaan. Stigma itu pasti ada tapi lewati saja, jangan takut itu intinya,” ujarnya.
Seperti diungkapkan Gebby Vebrianti, salah satu karyawan perempuan di Warkop 7odo. Umurnya baru 17 tahun, irit sekali berbicara tapi memiliki senyum manis memikat. Gebby tumbuh besar di Bekasi, dan masih duduk di kelas 2 SMA.
Di usianya yang relatif muda ini ia membuat pilihan ‘nyambi’ bekerja dan bersekolah. Dengan khas sifat anak mudanya, Ia tertantang untuk mengetahui bagaimana rasanya bekerja. Selain itu, tuturnya, agar lebih mandiri, sambil membantu kakaknya membayar biaya sekolah.
“Tentu kerjaan ini membantu meringankan beban biaya sekolah, sisanya ditabung dan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar gadis remaja ini.
Gebby sudah bekerja sekitar lima bulan di Warkop 7odo. Menurutnya, jika tidak bekerja pun tidak masalah.
Pasalnya, memilih sekolah sambil bekerja memang keinginan dirinya sendiri agar tidak merepotkan orang tua dan merasa lebih bebas jika ingin membeli keperluan pribadi dengan uang yang dihasilkan sendiri.
Meski masih belia, Gebby mengatakan tak terbebani sekolah sambil bekerja. Namun untuk rencana ke depan, ia masih meraba-raba.
Gebby pun mengatakan bahwa dirinya tidak ingin menghiraukan omongan orang lain yang masih menstigma negatif para pekerja di warkop. Walaupun masih banyak variasi pekerjaan di tempat lain, Gebby mengaku nyaman bekerja di Warkop 7odo. Sebab, kata dia, mendapatkan pekerjaan jika masih sekolah sangat susah.
“Merasa nyaman bekerja dengan bos perempuan. Kerjanya juga nggak gimana-gimana. Walaupun banyak yang meragukan bahkan meremehkan kerja di warkop tapi selama kita lurus, yaa santai aja, apalagi pemilik sangat baik,” tuturnya.
Nurhaini, pekerja perempuan yang lain berpendapat sama. Gadis asal Anjungan, Kabupaten Mempawah mengaku sudah bekerja sekitar tiga tahun di Warkop 7odo.
Sudah nyaman, begitulah alasannya saat ditanya mengapa bertahan selama bertahun-tahun.
Sama seperti Gebby, Heni pun memilih tak menanggapi pandangan negatif orang-orang di kampung halamannya tentang lingkungan bekerjanya sekarang.
Impian mereka sangat sederhana. Berharap apa yang mereka lakukan bisa meningkatkan kepercayaan diri saat berinteraksi dengan banyak pihak, mandiri dan menjadi perempuan yang mampu menjawab tantangan zaman.
Tak banyak sosok perempuan desa yang ingin membuat perubahan, meskipun perubahan tersebut sedikit. Namun, membawa dampak baik bagi lingkungan sekitarnya. Seperti yang dilakukan Nurhayati, perempuan berusia lebih dari setengah abad ini terus memberikan kontribusi bagi lingkungan sekitarnya.
Oleh: Nova Sari
Namanya Nurhayani. Ia berusia 56 tahun. Meskipun tak lagi muda, tapi ia masih terlihat energik, senyum lembutnya menyapa saat menyambangi rumahnya di Desa Ampera Raya, Kecamatan Sungai Ambawang, kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Sebagai orangtua tunggal ia dikenal sebagai perempuan pantang menyerah, ulet dan tak pelit berbagi ilmu. Tak jarang, ia memberikan mengajarkan keterampilan bagi perempuan didesanya.
Bekerja sebagai pengajar di PKBM Mitra Sehati juga mengembangkan usaha khas lokal Amplang sejak 2009, tepatnya 12 tahun lalu. Amplang adalah jajanan jenis kerupuk yang diolah dari bahan dasar ikan dan tepung.
Menjadi janda pukulan berat baginya, terlebih dengan tiga anak yang harus diasuh tanpa pekerjaan maupun peninggalan sang suami membuat kehidupan Nurhayani makin sulit. Ia pun dituntut untuk makin bekerja keras. Berbagai profesi ia lakoni sebelum akhirnya bersungguh-sungguh menggeluti usaha Amplang ini.
Berbagai cara dilakukan Nurhayani dalam menjalankan usahanya tersebut, terlebih waktu diawal-awal membangun usaha, meminta sumbangan, kemudian membuat proposal untuk mengembangkan usahanya itu juga pernah ia lakukan. Akan tetapi hasil yang peroleh tidak sesuai harapannya,
namun tekat dan semangat yang tinggi dengan modal seadanya membuat Nurhayani bangkit.
Hari ini siapa yang tidak kenal Amplang ‘Bu Nur’ di Kota Pontianak dan sekitarnya. Usaha rumahan yang juga menghasilakan omset yang lumayan.
Tak hanya itu, berkat usahanya yang cukup sukses ini ia pun merekrut para Ibu rumah tangga yang datang kepadanya meminta pekerjaan.
Kini kesuksesannya itu ia bagi dan melatih banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga yang ingin membuka asaha Amplang. Bahkan, ia merekrut para ibu rumah tangga yang ingin menambah penghasilan. Ia pun tidak mematok harus memiliki keahlian khusus bagi setiap karyawannya tapi
harus jujur dan gigih dan mau belajar.
Tak ayal, ia kerap memberikan pelatihan bagi karyawannya maupun para ibu rumah tangga yang ingin membuat usaha serupa. Dari binaan inilah, Ia dan beberapa perempuan ikut bergabung dalam memproduksi pembuatan kerupuk Amplang.
“Saya berikan pembinaan, saya ajarkan bagaimana cara membuat, bahan-bahan yang harus disiapkan, kita saling berbagi, ada bagian yang mengadon bahan, memotong-motong, menggoreng, packing hingga yang memasarkan kami ada bagiannya, tapi untuk penjualan memang siapa saja semua yang membantu boleh menjual,” kata Nurhayani.
Tak hanya itu, melihat masih banyak anak-anak di sekelilingnya yang putus sekolah, ia mengusulkan program di PKBM untuk kegiatan yang membina anak-anak putus sekolah mengakselerasi minat dan bakat, yang ia buka dikediamannya.
“Kita latih anak-anak dengan progam yang ada, terutama minta berwiraswasta. Kita ajarkan sejak dini. Untuk para ibunya, kita ajarkan cara membuat jajanan lokal kita. Para perempuan juga kita berikan kiat-kiat bisnis bagaimana, sehingga tahu pemasaran dan harus dijual seperti apa,” ujarnya.
Dari program tersebut, banyak perempuan desanya yang memilih bergabung dengan usaha Amplang miliknya. Ia yakin, dengan merekrut para ibu rumah tangga, kualitas hidup warga desanya akan semakin baik. Karena, di tempatnya tidak hanya bekerja tapi juga belajar menjadi lebih baik dalam pengelolaan keuangan dan kemandirian dalam keluarga. “Saya ingin baik anak-anak maupun perempuan bisa maju,” ucapnya.
Dalam menjalankan usahanya, optimis dan pantang menyerah menjadi motto dalam menjalankan usaha. Mekipun bukan usaha skala besar tapi berkatnyalah banyak perempuan rumah tangga di lingkungan sekitarnya mulai berani terbuka dan lebih mandiri.
Letak Desa Ampera Raya yang cukup jauh dari area pusat kota menjadi salah satu penyebab para wanita di desa tersebut minim pengetahuan dan akses publik sehingga tak heran banyak di antara para ibu rumah tangga tersebut hanya mengandalkan penghasilan suami mereka.
Namun, adanya usaha yang dirintis Nurhayani, para perempuan desa itu setidaknya bisa belajar banyak dari kisah kemandirian yang selama ini belum berani mereka lakukan.
“Mereka masih takut-takut untuk mandiri, berbicara hingga kita pelan-pelan ajarkan untuk bisa sendiri,” ungkapnya.
Bicara perubahan hidup, ini juga dialami Yati yang sudah merasakan bantuan dan jasa Nurhayani. Sejak beberapa tahun ikut serta membantu usaha Amplang, banya hal sudah ia pelajari, dari mulai tanggung jawab, mandiri dan belajar keterampilan dalam managemen usaha.
Ia awalnya hanya ibu rumah tangga biasa tanpa bekerja, namun, saat dirinya mengikuti kelas belajar usaha yag dibina Nurhayani kondisi ekonomi keluarga memaksakan wanita yang hidup sebatang kara ini sudah ikut bersama Nurhayani sejak tahun 2012 lalu. Lantaran fisiknya yang sudah tidak kuat seperti dulu.
“Saya sudah lama bergabung bersama ibu Nur membuat amplang, tentu pekerjaan saya ini sangat membantu. Apalagi saya yang bisa dibilang sebatang kara, suami meninggal anak tidak ada, cuma ada anak angkat saja,” kata dia.
Untuk upah yang diterima Yati dalam membuat amplang ini, perharinya dia ada ia menerima Rp30.000 dalam setiap pembuatan amplang. Namun upah ini tergantung dari seberapa banyak Amplang yang dibuat. Yati mengaku terbantu dengan adanya pembuatan amplang yang dibuka oleh Nurhayani,
“Selain membantu usaha amplang Ibu Nur, bersyukur saya juga mendapatkan bantuan dari Pemerintah bagi warga yang tidak mampu seperti saya,” ucapnya
Di kondisi pandemi seperti saat ini dikatakan Nurhayani, tentu berdampak pada penjualannya, namun begitu usaha kerupuk amplang ini masih terus berlanjut.
Usaha mikro menegah memang merupakan lahan keuntungan yang menjanjikan. Data Dinas Koperasi dan UMKM Kalbar, mencatat ada sekitar 42.000 UMKM di Kalbar. Dari jumlah tersebut, UMKM perempuan mendominasi.
Anggota Parlemen Perempuan Kalbar, Suma Jenny merespons para pelaku UMKM perempuan yang dianggap mampu membawa perubahan ekonomi daerah.
Perempuan saat ini bisa bebas dalam memilih karirnya, terutama bagus yang ingin berbisnis, baik usaha kecil maupun menengah. Saat ini, perempuan dituntut mandiri dan kreatif, terutama perempuan dalam
rumah tangga.
Kata dia, pola pikir para perempuan sudah mulai terbuka dengan memafaatkan banyak peluang yang ada.
“Jangan takut memulai, harus berani. Jika perempuan tidak memiliki pikir ke depan akan susah untuk menghadapi era persaingan hidup,” ujarnya.
Untuk mempermudah usaha kecil menengah, pihaknya membuat berbagai kebijakan dan rencana untuk membantu para perempuan yang ingin membuka usaha.
Oleh: Syahriani Siregar
Terletak di tiga penjuru Kota Singkawang, yaitu Singkawang Barat, Singkawang Timur dan Singkawang Selatan, kampung wisata batik menjadi destinasi wisata baru Kota Singkawang. Di mana wisatawan bisa berkunjung melihat proses produksi batik, membelinya untuk oleh-oleh dan mengikuti workshop membatik.
Kampung wisata batik membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Sejatinya sebagai fasilitas tempat, ilmu, pencarian dana dan event bagi masyarakat yang ingin membatik.
Berdiri pada 1 Agustus 2019. Di dua bulan pertamanya kampung wisata batik sudah menghasilkan 79 kain, memiliki puluhan pembatik dan telah mengadakan edukasi batik melalui pementasan teater pada Oktober 2019.
Sebagian besar karyanya adalah batik tulis dengan motif yang bertema etnik. Ada juga batik cap. Tentunya banyak memuat motif suku-suku besar di Kalimantan Barat seperti Dayak, Melayu dan Tionghoa. Ada pula corak yang ia bikin sendiri, biasanya terinspirasi dari kehidupan sosial masyarakat atau budaya lokal. Priska juga kerap menggambar tema tumbuhan dan hewan lokal.
Menjadi seorang misionaris batik adalah keinginan Priska. Baginya misionaris batik bukan hanya memperkenalkan batik tetapi juga memperkenalkan adab Kalbar lewat motif yang dituangkan pada kain. Apa yang telah digapainya sekarang memiliki jalan panjang yang berliku dan masih harus terus diperjuangkan. Ia telah mengalami jatuh bangun berkali-kali.
Priska dilahirkan dari latar belakang keluarga pendidik, Bapak dan ibunya adalah seorang guru yang merupakan pegawai negeri sipil. Lulus SMA, Priska justru ingin melanjutkan ke sekolah seni. Tapi sayang, orang tuanya tidak mengizinkan.
“Orang tua saya berpendapat kalau perempuan lebih aman bekerja kantoran atau menjadi PNS. Masa depan lebih terjamin ketimbang menjadi seniman,” ujar perempuan kelahiran Singkawang, 23 Januari 1988 ini.
Akhirnya Priska memilih jurusan ekonomi. Sewaktu kuliah di Jogja, perempuan 33 tahun ini justru belajar membatik untuk mengisi waktu senggangnya. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa tingkat akhir di tahun 2010. Ia belajar bersama seorang seniman yang merupakan kerabat ayahnya. Di Jogja, Priska diajarkan tentang ‘rasa’, metode pembelajaran klasik sangat dirasakan Priska bersama Eyang yang berdarah Jawa.
Lulus kuliah tahun 2011, ia pulang ke kampung halaman dengan mengantongi ijazah Sarjana Ekonomi. Bertujuan memanfaatkan ijazahnya tersebut, lulusan ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini menjadi karyawan sebagai staf akunting di satu di antara perusahaan swasta di Kota Amoi tersebut, sambil menjalankan toko baju yang telah ia dirikan sejak 2008 silam.
Dua tahun menjalani kerja kantoran, Priska merasa tak sanggup. Ia memiliki banyak uang namun tak merasa bahagia, tak punya banyak waktu untuk menyenangkan diri sendiri. Ia pun sempat masuk rumah sakit tiga kali karena kelelahan dan banyak pikiran.
Merasa bukan passion-nya, tahun 2013 Priska mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Namun sayang, pada tahun yang sama, ia juga harus menutup tokonya karena terbengkalai, usahanya tersebut bangkrut.
Priska coba menenangkan diri dan menjernihkan pikirannya. Ia berpikir, apa yang akan dilakukan dengan materi yang tersisa? Nekat, ia memutuskan untuk membeli rumah. Dengan modal dari tabungannya dan sedikit pinjaman dari orang tua, Priska membeli rumah kosong yang terletak di Cisadane, Singkawang Barat.
Berbekal rumah kosong dan hobi membatik, ia membuka rumah batik. Letaknya strategis, di jantung kota dan dekat dengan kawasan mall. Rumah inilah yang kemudian menjadi markas kampung wisata batik pertamanya.
“Awalnya saya buka rumah batik dan spa. Membatik hanya untuk kesenangan sendiri saja. Ternyata makin lama makin ramai orang tertarik. Bukan ke spa tapi justru lihat pembatikan, mulai banyak yang minta kursus membatik juga. Akhirnya spa saya tutup dan fokus pada pembatikan,” kenang Priska.
Tahun 2014, Priska memperoleh kesempatan untuk membina 28 orang ibu-ibu rumah tangga yang ada di pinggiran Kota Singkawang. Sebelumnya, ibu-ibu tersebut membantu suaminya mencari nafkah dengan mengambil upahan panen ladang. Dalam masa empat bulan Priska membina ibu-ibu tersebut dengan bantuan dana dari Kementerian.
“Ternyata dari sana saya sadar, bahwa hobi yang sangat menyenangkan dan sangat mudah buat saya ini tidak berlaku untuk orang lain. Dari 28 orang yang saya bina sampai masa 4 bulan hanya bertahan 8 orang saja yang menyelesaikan program belajar membatik,” jelas Priska.
Tapi dari pembinaan tersebut Priska menjadi tidak sendirian. Di tahun tersebut ia menemukan teman-teman yang tertarik pada batik, menjadi satu visi dan misi untuk membangun rumah batik menjadi galeri workshop yang sekarang diberi nama Galeri Workshop Kote Singkawang. Namun, lagi-lagi jalan yang harus ditempuh masih berliku.
Pada tahun 2015, setahun berproses Galeri Workshop Kote Singkawang ternyata belum berjalan dengan baik seperti yang diharapkan, keluar masuknya teman-teman yang ikut berproses menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi Priska.“Yang paling berat adalah mengubah mindset mereka, kebanyakan mereka berpikir ‘aduh, barang seperti ini mampu laku berapa sih?’, ‘terus jualnya mau kemana ya, kan barang mahal?’ Pemikiran seperti itulah yang terus menerus perlu saya luruskan ke masyarakat setempat agar percaya diri dan mandiri,” ungkapnya.
Galeri Workshop Kote Singkawang terus mengembangkan diri, hingga akhirnya ia mendapatkan tim yang solid.
“Yang kami berdayakan adalah pengangguran, anak muda putus sekolah dan orang-orang yang terdiskriminasi karena social punishment setelah keluar dari penjara, dan juga ibu-ibu rumah tangga yang ikut membantu suami mencari nafkah,” imbuhnya.
Hingga pada tahun 2019 ia menjawab tantangan dari pihak sponsor untuk membangun kampung wisata batik. Dengan kesempatan itu, ia membangun kampung wisata batik di tiga penjuru kota dengan nama ‘Kampung Wisata Ragam Corak Singkawang Tiga Penjuru’.
Galeri Workshop Kote Singkawang di Cisadane yang berada di penjuru barat jadi markas pertama, kemudian ia memilih Nyarumkop di penjuru timur serta Sedau di penjuru selatan.
Semakin terkenal, workshop membatik yang dilakukan membuat mereka percaya diri dan bersemangat. Kunjungan demi kunjungan wisatawan yang ingin belajar membatik dan membeli batik datang dari berbagai daerah. Kunjungan dari Pertukaran Pelajar Antar Negara, dari berbagai kampus yang ada di wilayah Kalbar, kunjungan sekolah-sekolah, kunjungan Ibu-ibu PKK, kunjungan dari berbagai instansi dan perusahaan-perusahaan yang melakukan gathering menyempatkan diri untuk workshop membatik.
“Bahkan ada kunjungan dari para wisatawan mancanegara yang melihat kami dari akun Facebook (Taiwan, Thailand, Prancis). Kunjungan tidak hanya pada Galeri Workshop Kote Singkawang tetapi juga pada tiga wilayah kampung batik yang kami bangun,” ungkapnya.
Pameran menjadi salah satu targetnya untuk mempromosikan batik bersama produk lainnya. Dari awal berproses hingga kini, berbagai pameran dan ribuan kain batik telah dihasilkan oleh Priska dan teman-teman.Priska merasa bahagia sekaligus terharu atas apa yang telah diperolehnya saat ini. Hobi yang dilakukannya tanpa beban dan diyakininya bisa menjadi ruang meditasi untuk dirinya berpikir jernih ternyata bisa menjadi manfaat untuk orang-orang di sekitarnya.
“Saya mencoba membuka rumah batik awalnya tidak dengan harapan yang muluk-muluk. Saya hanya ingin bisa mengenalkan, mengajarkan membatik dan berbagi cerita tentang batik. Ternyata semua itu menjadi candu dan membawa rezeki yang lebih tidak hanya buat saya sendiri tetapi mampu memandirikan saya dan orang di sekitar saya,” ujar perempuan berdarah Jawa ini.
Tambah Penghasilan
Wahyu Sri Nurhani, 36 tahun, ia merupakan satu dari 28 ibu-ibu yang mengikuti pelatihan membatik oleh Priska pada tahun 2014. Diakui Wahyu, sejak bisa membatik, ekonomi keluarganya turut terbantu. Ibu rumah tangga yang memiliki tiga anak ini dulu hanya bisa berladang, kini ia bisa membantu suaminya mencari nafkah.
“Merasa bersyukur karena dapat menambah penghasilan keluarga, sebelumnya hanya bergantung dari hasil upah suami yang menjadi buruh peternak ayam,” ujar Wahyu yang berada di kampung wisata batik penjuru selatan.
Semenjak ada kampung wisata batik tahun 2019, Wahyu semakin banyak mendapat pesanan batik tulis. Wahyu mengambil bagian dalam proses pencantingan. Dalam satu hari ia bisa menyelesaikan satu kain dengan panjang dua meter, sehingga tujuh kain batik dapat diselesaikannya dalam seminggu.
“Per kain saya bisa mendapatkan Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu. Biasanya setiap hari ada pemesanan dan pengerjaan. Namun semenjak pandemi pemesanan sedikit menurun, seminggu hanya 2-3 kain saja. Pesanan banyak saat adanya event pameran, sementara pameran belum bisa dilakukan sekarang ini. Semoga pandemi segera berlalu,” ujar Wahyu.
Walau pemesanan sedikit berkurang karena pandemi, Rosvanty Erlin juga merasa sangat terbantu semenjak bergabung dengan kampung wisata batik penjuru timur.
Perempuan 37 tahun ini bisa menambah penghasilan sehari-hari dan biaya anak sekolah dari kemampuannya membatik.
Ibu tiga anak ini berharap semoga bisa terus berkarya dan berkembang lebih baik ke depannya. “Semoga semua pihak mendukung kegiatan kami. Senang bisa menjadi bagian dari kampung wisata batik yang sangat memotivasi, saling mendukung dan kompak,” tutur Rosvanty.**
Or, would you prefer a straightforward response that covers key points and makes sense of abstract concepts? Though clarity is key, Google also places a high value on being thorough. This means marketers need to be careful…