Jawab Keraguan Warkop ‘Bukan’ untuk Perempuan, Efi Lee: Jangan Takut dengan Stigma
Siang itu, saya mengunjungi ke Warung Kopi (Warkop) 7odo (baca: jodo) di Jalan Prof. M. Yamin, Kota Pontianak. Dari parkiran, terdengar ruko dua lantai itu riuh oleh suara para pemain gim. Tampak pula beberapa pria yang mengenakan kemeja rapi seperti para pekerja lepas, sedang sedang berdiskusi tentang berbagai pekerjaan.
Oleh: Shella Rimang
Warkop yang berdiri pada 2018 itu sama sekali tak berubah, tak ikut-ikutan tren kafe kekinian yang digandrungi para anak muda.
Memasuki warkop, saya disambut perempuan berambut panjang dan bermata sipit yang tidak asing. Orang-orang banyak memanggilnya Cece. Namanya Margareta Efi atau lebuh dikenal sebagai Efi Lee. Hampir setiap pengunjung yang datang disapa oleh Cece, termasuk juga saya.
Efi yang merupakan ibu tunggal, memiliki satu anak perempuan yang sedang berkuliah di Jakarta. Sang anak adalah penyemangat hidupnya. Sebagai seorang perempuan plus ibu, ia paham masalah ekonomi dalam keluarga menjadi salah satu faktor penting.
Tak heran, jika perempuan juga dituntut untuk bisa produktif, selain karena tuntutan tapi juga pembuktian diri bahwa perempuan juga mampu berkembang dan maju dalam hal ekonomi.
Efi, selain memiliki bisnis minuman, ia juga memiliki bisnis transportasi. Sejak usia muda ia dikenal jago dalam berbisnis, jeli melihat peluang dan cerdas dalam melihat trend. “Harus percaya diri. Apapun usahamu, mau kecil mau besar yang penting tidak malu dan mau belajar,” ujar dia.
Peragainya yang sederhana, mampu membawa usahanya berkambang dalam tempo yang cukup singkat. Berbagai kursus singkat terkait usaha ia ikuti, banyak mendengar kisah sukses para perempuan dunia menjadi salah satu kesukaannya.
Tokoh menginspirasi, terutama perempuan yang mambawa perubahan membuat makin termotivasi untuk lebih banyak belajar dan berbagai ilmu yang sudah ia dapat.
Ini juga menjawab keraguan banyak pihak bahwa bisnis warkop bukan untuk perempuan.
“Di luar sana masih banyak yang beranggapan, bahwa kaum kita tak mampu. Padahal sebaliknya ini bagi saya tantangan dalam menjawab itu,” kata dia tegas.
Efi Lee, Pemilik Warkop 7odo |
Bisnis warkop adalah bisnis menjanjikan di Kota Pontianak yang minim aset alam. Hanya mengandalkan cita rasa dan pelayanan prima dan kegigihan, usaha serupa akan cepat melesat.
Khusus untuk usaha warkop, perempuan yang pernah merantau ke Jakarta itu sangat tertarik. Menurutnya, interaksi yang didapat dalam usaha tersebut sangat luas karena bisa bertemu siapa saja dengan berbagai tipe dan isi kepala.
“Itu jatohnya aku sendiri yang cewek. Cara mengelolanya beda kayaknya antara perempuan dan laki-laki,” tutur Efi.
Ia menjelaskan perbedaan antara pengelola perempuan dan laki-laki terletak pada hal-hal detail. Perempuan cenderung memperhatikan detail sekecil apa pun, sementara laki-laki lebih cuek dan lebih fokus pada pendapatan. Namun, kata dia, hal itu kembali lagi pada masing-masing pribadi.
Usaha warkop umumnya dikelola kaum pria, jarang ada wanita yang mau terlibat dalam bisnis ini, mengingat risiko diskriminasi hingga pelecehan rentan terjadi. Mungkin sebagian orang menganggap warkop tidak sekeran cafe modern dengan latar dan dekorasi menarik, pilihan kopi lokal dan luar negeri lengkap, tapi warkop menawarkan area tersendiri bagi pengunjung, terutama dalam mengedepakan suasana ramah, nyaman dan akrab.
Potret Warkop 7odo tampak depan. |
Tampilan salah satu menu, kopi susu di Warkop 7odo. |
Sebagai seorang pengusaha yang tidak hanya bergerak dalam satu bisnis saja, tantangan kerap ia hadapi. Baik tudingan bahwa ia tidak kompeten hingga omongan miring tentang bisnis yang ia geluti.
Usahanya pun memprioritaskan pekerja perempuan yang membutuhkan pekerjaan tanpa ditanya ijazah dan sejenisnya.
“Tidak perlu pakai ijazah. Kebanyakan yang bekerja di sini mereka yang memang membutuhkan biaya untuk hidup. Tangguhlah mereka, yang penting pegang prinsip dan bertanggungjawab serta tahan banting dalam bekerja karena jam operasional kita sampai malam,” katanya.
Merekrut para pekerjanya yang kebanyakan adalah perempuan salah satu upaya Efi untuk mendidik para perempuan yang bekerja meraih setiap peluang yang ada untuk maju kepada peluang yang lebih terbuka.
“Jika ingin pengalaman bekerja, tidak ada salahnya bekerja. Tidak masalah di mana yang penting bisa dipertanggungjawabkan,” ucapnya.
Ia memberikan kesempatan bagi semua karyawanya, baik pria dan wanita untuk berkreasi dalam hal kualitas minuman yang disajikan. Efi juga kerap melatih kayawannya cara meracik minuman. Kerap berdialog hingga rapat mengenai hal-hal baru guna memberikan motivasi kepada karyawanya.
“Ini penting agar mereka betah kerja, ” ucapnya.
Selain itu, yang paling penting kata Efi, ia tak pernah merasa bahwa dirinya bos. Dengan demikian, pendekatan personal pada karyawan atau pada para pelanggan akan berjalan baik.
Efi membagikan beberapa tips untuk para perempuan yang berusaha dan baru mulai atau ingin merintis usaha. Menurutnya, perempuan harus percaya diri yang dibarengi dengan pikiran positif. Tujuan jelas harus menjadi visi dalam setiap usaha, salah satunya membuka lapangan kerja untuk yang membutuhkan, terutama kaum perempuan.
“Kalau misal udah punya usaha, jangan down. Terus aja mikir kalau saya bisa. Perempuan harus bisa berkerja meskipun usahanya itu penuh risiko, seperti bisnis warung kopi ini. Biasanya lebih dikelola para pria tapi, saya percaya diri mampu mengelolanya dan terbukti sekarang,” paparnya.
Baginya, gender tidak menjadi penghalang bagi perempuan terjun ke bisnis warkop yang cenderung mendapat sentimen dan stigma negatif. Apalagi jika perempuan terlibat dalam bisnis ini.
“Salah pengelolaan kesannya pasti negatif. Makanya jangan mudah menyerah.kita sebagai seorang perempuan jangan mau kalah dalam hal pengelolaan. Stigma itu pasti ada tapi lewati saja, jangan takut itu intinya,” ujarnya.
Seperti diungkapkan Gebby Vebrianti, salah satu karyawan perempuan di Warkop 7odo. Umurnya baru 17 tahun, irit sekali berbicara tapi memiliki senyum manis memikat. Gebby tumbuh besar di Bekasi, dan masih duduk di kelas 2 SMA.
Di usianya yang relatif muda ini ia membuat pilihan ‘nyambi’ bekerja dan bersekolah. Dengan khas sifat anak mudanya, Ia tertantang untuk mengetahui bagaimana rasanya bekerja. Selain itu, tuturnya, agar lebih mandiri, sambil membantu kakaknya membayar biaya sekolah.
“Tentu kerjaan ini membantu meringankan beban biaya sekolah, sisanya ditabung dan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar gadis remaja ini.
Gebby sudah bekerja sekitar lima bulan di Warkop 7odo. Menurutnya, jika tidak bekerja pun tidak masalah.
Pasalnya, memilih sekolah sambil bekerja memang keinginan dirinya sendiri agar tidak merepotkan orang tua dan merasa lebih bebas jika ingin membeli keperluan pribadi dengan uang yang dihasilkan sendiri.
Meski masih belia, Gebby mengatakan tak terbebani sekolah sambil bekerja. Namun untuk rencana ke depan, ia masih meraba-raba.
Gebby pun mengatakan bahwa dirinya tidak ingin menghiraukan omongan orang lain yang masih menstigma negatif para pekerja di warkop. Walaupun masih banyak variasi pekerjaan di tempat lain, Gebby mengaku nyaman bekerja di Warkop 7odo. Sebab, kata dia, mendapatkan pekerjaan jika masih sekolah sangat susah.
“Merasa nyaman bekerja dengan bos perempuan. Kerjanya juga nggak gimana-gimana. Walaupun banyak yang meragukan bahkan meremehkan kerja di warkop tapi selama kita lurus, yaa santai aja, apalagi pemilik sangat baik,” tuturnya.
Nurhaini, pekerja perempuan yang lain berpendapat sama. Gadis asal Anjungan, Kabupaten Mempawah mengaku sudah bekerja sekitar tiga tahun di Warkop 7odo.
Sudah nyaman, begitulah alasannya saat ditanya mengapa bertahan selama bertahun-tahun.
Sama seperti Gebby, Heni pun memilih tak menanggapi pandangan negatif orang-orang di kampung halamannya tentang lingkungan bekerjanya sekarang.
Impian mereka sangat sederhana. Berharap apa yang mereka lakukan bisa meningkatkan kepercayaan diri saat berinteraksi dengan banyak pihak, mandiri dan menjadi perempuan yang mampu menjawab tantangan zaman.