Didik Ibu Rumah Tangga Jadi Penggerak Perubahan
Akademi Paradigta, Sekolah Perempuan Desa
Siang ini, saya diundang menghadiri rapat harian para ‘emak’ alias ibu-ibu yang tergabung dalam pengurus dan alumni Akademi Paradigta, di Desa Sungai Ambangah, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Akademi Paradigta adalah sekolah atau tempat belajar perempuan, yang ditujukan bagi kader-kader desa, baik aktif maupun yang belum aktif terlibat di desa agar lebih mengenal desanya.
Oleh: Wati
Butuh 27 KM untuk mencapai lokasi atau satu jam ke desa tersebut dari pusat Kota Pontianak. Sesuai kesepakatan, pertemuan akan diadakan di Balai Desa Sungai Ambangah.
Saya pribadi belum pernah datang ke Desa Sungai Ambangah Kubu Raya itu. Terbesit, karena jarak kabupaten tidak jauh dari wilayah pusat ibu kota provinsi, Kota Pontianak, tentu tak berbeda kondisinya dengan wilayah kota, ramai orangnya, dan lapang jalannya.
Perlu diketahui, Desa Sungai Ambangah merupakan salah satu desa di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya dengan luas wilayah 31.630 km².
Memiliki lima dusun, 8 RW dan 34 RT. Jumlah penduduk mencapai 6.021 jiwa dengan 3.097 laki-laki dan 2.924 perempuan. Rata-rata penduduknya bekerja sebagai petani dan bercocok tanam.
Untuk menuju desa bisa menggunakan dua rute. Bisa rute air atau darat. Saya lebih memilih jalur darat, mengingat perkiraan awal kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi di tengah kota.
Makin menuju desa, jalan mulus berubah menjadi jalan bebatuan dan sempit. Tidak sesuai perkiraan diawal tapi kabar baiknya, di sepanjang jalan, saya disuguhkan dengan pemandangan hijau area persawahan dan hutan. Pemandangan hijau pastinya menyegarkan mata dan meringakan ketengangan pundak saat berkendara.
Tiba di balai desa, para alumni dan pengurus Akademi Paradigta sudah berkumpul. Mereka tengah mendengarkan arahan kepala desa setempat terkait data-data desa yang harus mereka himpun.
Faktanya, para lulusan Akademi Paradigta ini banyak diperbantukan oleh pemangku kebijakan untuk terlibat dalam berbagai program desa. Ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi para lulusan. Bukan hanya mereka perempuan tapi karena kiprah dan komitmen mereka dalam terlibat membangun desa.
Akademi Paradigta bukan sekedar kumpulan perempuan tapi lebih dari kumpulan perempuan biasa. Mereka adalah penggerak perubahan tak kasat mata, mereka tak tinggi pendidikan tapi tinggi harapan dan kemauan.
Akademi Paradigta adalah tempat pelatihan dan pengembangan diri. Tempat semacam perkuliahan singkat yang memiliki aturan, modul belajar yang tertata dan terstruktur. Hampir sama dengan sekolah resmi lainnya.
Seperti diungkapkan Koordinator Pendidikan Akademi Paradigta Kuburaya, Kholilah. Bedanya, kata dia, di Akademi Paradigta ini kesemuanya adalah perempuan, kebanyakan adalah ibu rumah tangga maupun perempuan yang memiliki kualifikasi dan komitmen tinggi membangun desa.
Diakui, saat ini keterlibatan perempuan di desa sangat minim. Padahal, adanya UU Desa harusnya membuat perempuan aktif berpartisipasi. Adanya Akademi Paradigta ini bisa mendorong perempuan desa tampil dan terlibat dalam kepentingan desa.
Nantinya, saat kelas akan dibuka, Akademi Paradigta yang diinisiasi oleh Serikat Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Kabupaten Kubu Raya menginformasikan hal tersebut kepada seluruh kecamatan dan desa.
“Biasanya di awal-awal tahun, seperi kisaran bulan Februari dan Maret,’ katanya.
Kepala desa kemudian akan menyeleksi siapa yang memiliki dedikasi dan keaktifan di wilayahnya untuk belajar di Akademi Paradigta. Terpenting, usai mereka belajar di akademi, mereka bisa kembali dan memulai langkah terlibat dalam program desa. Dari hasil seleksi itu akan dikirim ke tingkat kecamatan. Setiap kecamatan yang berpartisipasi berhak mengirimkan masing-masing perwakilan.
“Biasanya 7-8 orang. Dipilih di tiap desa. Di Desa Sungai Enau misalnya itu ada 15 orang perempuan yang ingin ikut tapi karena desa hanya sanggup membiayai berapa, maka sisanya diikutkan tahun depannya,” terang Kholilah.
Perlu diketahui, desa bisa memberikan bantuan biaya selama menempuh pendidikan di Akademi Paradigta. Biaya transport dan uang konsumsi. Dengan catatan, tidak semua desa memberikan ‘beasiswa’ tersebut.
Per kelas akan ada sekitar 40 orang. Para perempuan ini akan mendapatkan pola belajar dengan didampingi mentor-mentor berpengalaman, baik dari PEKKA dan PPSW. Pembelajaran dimulai dari hari Senin-Jumat, waktu belajar lima jam dari satu kali pertemuan dengan total lama belajar adalah 6 bulan.
Uniknya, jika di sekolah umum mereka belajar di satu ruang kelas yang sama hingga masa akhir pendidikan. Di Akademi Paradigta ini kelas belajar bisa berpindah-pindah, mulai dari kantor milik PEKKA, balai desa hingga rumah warga.
Bahkan, kelas bisa diliburkan jika para murid yang berisi ibu-ibu ini tengah menghadapi hajatan tahunan. Sebut saja lomba, kegiatan sosial yang digelar pemerintah setempat.
“Menyesuaikan, apalagi kita tahu para ibu ini kebanyakan anggota organisasi yang memiliki kegiatan rutin didesanya. Jadi, pas ada kegiatan itu, mereka minta izin kelasnya libur. Untuk kelas, bisa gantian dimana yang paling dekat dengan mereka,” paparnya.
Untuk sistem belajar, awalnya hanya memiliki 10 modul tapi sekarang Akademi Paradigta memiliki 12 modul yang menjadi bahan pokok pembelajaran. Seperti modul wawasan kebangsaan, stunting, ketahanan pangan, UU Desa, pengorganisasi masyarakat, advokasi, hingga desa harapan.
Sama seperti proses belajar, akan ada tugas yang harus dikerjakan, baik tugas harian hingga tugas lapangan. Dari sekedar mengetahui soal SOP di posyandu, puskesmas, kantor desa hingga harus mengorganisir perempuan desa sebagai tugas lapangan maupun tugas akhir siswa akademi.
“Mereka diberi ilmu, dan praktek langsung ke lapangan. Jadi, umumnya memaparkan kondisi desa-desa yang ada di Kubu Raya. Tujuannya biar mereka makin kenal desanya dan bisa berfikir ke depan program yang belum selesai maupun yang harus ada di desa mereka sudah terbayang,” kata dia.
Sebagai tugas akhir, para siswa Akademi Paradigta ini diharuskan membuat rencana atau tindak lanjut apa yang ingin dilakukan untuk perubahan kampungnya. Rencana tersebut dibuat tertulis dengan membuat skema tersusun sehingga setelah disahkan oleh para mentor, tulisan akhir itu bisa direalisasikan di desa masing-masing.
Karya tulis tersebut akan menjadi semacam ‘skripsi’ yang akan dikembalikan kepada siswa akademi saat wisuda nanti.
Usai menyelesaikan proses belajar 6 bulan, tiba saatnya para siswa ini pun diberi kehormatan seperti layaknya wisudawan universitas. Bedanya mereka hanya dikalungkan slempeng kelulusan Akademi Paradigta oleh petinggi pemerintah maupun pengurus pusat.
Meskipun sederhana, namun antusiasme para lulusan sangat terasa. Mereka merias diri, mengenakan kebaya terbaik serta memboyong seluruh keluarga untuk hadir sebagai penghormataan atas capaian yang diraih.
“Ini menjadi momen pembuktian diri bahwa mereka berguna untuk memajukan desanya usai dari sini, jadi biasanya mereka tampil maksimal,” ucapnya tersenyum.
Tentu, usai menyesaikan pembelajaran di Akademi Paradigta, para alumni ini dituntut menghidupkan desa mereka, baik terlibat di PKK, karang tarunan maupun organisasi lainnya.
“Intinya mereka bisa terlibat langsung di desa, bisa memberdayakan para perempuan yang ada di sana. Para alumni ini bisa benar-benar terlibat, merintis mimpi desa sesuai dengan harapan yang ingin mereka raih,” ungkap Kholilah.
Dampak nyata dirasakan para alumni Akademi Paradigta. Haminah, misalnya. Berasal dari Desa Dusun Kampung Baru, angkatan pertama tahun 2016-2017. Ia ibu rumah tangga, tidak tamat sekolah dasar dan berprofesi sebagai petani.
Keseharian Haminah hanya melayani suami dan mengurus anak-anak. Ia tidak memiliki kemampuan bersosialisasi, apalagi terlibat dalam dunia organisasi seperti pencapaiannya saat ini yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Koperasi Mandiri Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya hingga aktif sebagai pengajar di keaksaraan nasional atau KS. Ia ditunjuk mengajar perempuan buta huruf dikampungnya. Pencapaian luar biasa diraih wanita berjilbab ini.
Sejak bergabung di Akademi Paradigta, Haminah seperti memiliki kemampuan lain. Rasa minder mulai terkikis. Berani tampil menyuarakan pendapat, terlibat dalam diskusi kelompok dan aktif saat belajar.
Kesemuanya itu ia dapatkan di akademi, keseruan dan kesabaran mentor membuat ia paham bahwa dirinya bisa berguna sekaligus bermanfaat bagi desa dan lingkungannya.
Yulida pun merasakan hal sama. Ibu tiga anak ini merupakan lulusan Akademi Paradigta angkatan kedua, tepatnya tahun 2018 lalu.
Ia tinggal di Desa Sungai Ambangah. Lokasi antara rumah dan tempat belajar yang jauh, belum kondisi jalan dan cuaca tak membuat Yuli patah semangat.
Ia percaya pepatah ‘Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Itu yang ia rasakan. Belajar mandiri, tidak tergantung sang suami ketika ada persoalan di desa, berani bersuara saat rapat desa hingga mengusulkan apa yang perlu dilakukan didesanya.
Ia pun bisa membentuk PEKKA di Desa Sungai Ambangah. Luar biasanya, hingga saat ini sudah ada dua kelompok yang teribat di masing-masing desa, dimana per kelompok berisi 30an anggota, yang umumnya diisi oleh perempuan. Semua itu berkat kerja keras dan komitmen Yulida untuk tidak membiarkan perempuan duduk diam saja tanpa bersuara.
Ketua Serikat PEKKA Kubu Raya, Asmawati optimis perempuan yang tergabung dalam Akademi Paradigta bisa memberikan perubahan untuk desanya.
Tak banyak perempuan desa yang paham akan APBDes, namun ketika masuk dalam Akademi Paradigta, pokok pembahasan anggaran desa menjadi menu utama.
Pada akhirnya, transformasi perempuan desa bisa membawa manfaat, tidak hanya untuk pribadi, keluarga tapi juga desa terkait. Jika perempuan mampu berdikari dan aktif secara intelektual dan sosial, maka ia percaya lingkungan desa akan semakin berdaya. (*)