Sri Wartati, Srikandi Keberagaman Kota Khatulistiwa
“Jadi, kalau kita mau Indonesia ini ada, kita semua bertanggung jawab untuk menjaga komitmen itu. Mau itu laki-laki atau perempuan, kita lakukan komitmen itu berdasarkan kapasitas kita masing-masing.”
Oleh: Shella Rimang
Berawal dari kegelisahan tentang ketidaktahuan konsep belajar pada anak, Sri Wartati mendirikan sekolah keberagaman yang dinamakan Sekolah Alam Terpadu Cerlang pada 2012.
Sekolah yang beralamat di Jalan Johar, Kota Pontianak ini dimulai dengan program play group dan TK untuk anak-anak berusia 2-3 tahun. Kini, sekolah Cerlang sudah mencapai tingkat satuan pendidikan sekolah dasar.
“Kenapa mulainya dari PAUD, karena kita pikir memang konsep kebangsaan itu harusnya ditanamkan ke anak-anak sejak usia dini. Kita berharap itu akan menumbuhkan setidaknya paham-paham yang lebih toleran, yang bisa menerima kebhinekaan yang ada,” tuturnya.
Sri mengawang, mengingat kembali alasannya mendirikan sekolah yang mengusung konsep Bhinneka Tunggal Ika itu. Sebelumnya, ia pernah membuka les umum untuk anak dari sekolah mana pun untuk belajar pelajaran umum.
Anak-anak dari beragam sekolah yang mengikuti les, banyak yang prestasi sekolahnya rendah sekali. Beberapa anak yang mampu, juga tidak memiliki kemampuan untuk belajar, hanya mengandalkan les.
Namun akhirnya, rata-rata anak yang ikut les selama dua tahun (waktu minimal yang disyaratkan) prestasinya bisa meningkat jauh. Misalnya, kata dia, ada anak yang bersekolah di satu SD negeri di Kota Pontianak, peringkatnya selalu di atas 10. Setelah mengikuti les, bisa menempati peringkat dua dalam ujian nasional. Bahkan ketika ada latihan ujian nasional, di kelas anak itu bisa mengajari guru dan teman-temannya.
Ada juga yang tidak naik kelas. Namun usai mengikuti les selama dua tahun, prestasinya jauh berbeda.
“Dari situ, sekitar enam tahun, saya menyimpulkan bahwa anak-anak ini sebenarnya bukan bodoh, prestasi mereka di akademik memang sangat rendah, tapi bukan bodoh dan bukan kesalahan mereka,” ungkap Sri.
“Lebih banyak karena konsep-konsep awal yang seharusnya menjadi dasar-dasar mereka bisa naik kelas di jenjang berikutnya untuk pelajaran yang lebih sulit itu, mereka tidak kuasai. Jadi mereka dilolos-loloskan aja. Dan mereka tidak pernah diajari cara belajar. Tahunya belajar adalah bikin PR dan belajar untuk ulangan,” imbuhnya.
Padahal, menurutnya belajar merupakan proses menjadi lebih baik yang seharusnya dilakukan secara terus-menerus sepanjang hayat. Kemudian di dalam proses menjadi lebih baik (proses belajar), ada beberapa tahapan. Pertama, motivasi awal.
“Yang seharusnya terjadi, sekolah mengajarkan anak proses belajar. Misalnya membaca secara komprehensif, bukan sekadar running text. Kemudian mereka harus mampu melakukan evaluasi, mengolah data. Jadi tidak menghafal, tapi mengolah data. Dari situ juga mereka bisa menarik kesimpulan-kesimpulan. Kemudian mencari tahu solusinya apa. Dari situ kemudian dievaluasi lagi,” terang perempuan lulusan Universitas Sanata Dharma ini.
Kedua, secara akademik, proses belajar itu seharusnya sesuatu yang independen. Dalam artian, lanjut Sri, subjek itu seharusnya si anak, bukan mata pelajaran, bukan guru, bukan sekolah, dan bukan kurikulum. Jadi, yang melakukan proses belajar ialah anak.
“Padahal di dalam ilmu pendidikan, kita tahu bahwa anak seharusnya menjadi subjek belajar, yang bertanggung jawab atas belajarnya. Dialah yang menguasai keseluruhan proses belajarnya. Harus ada motivasi internal untuk mau terus belajar,” ucapnya.
Menurutnya yang umumnya terjadi, anak tidak berkuasa atas materi yang ia pelajari. Sebab, materi sudah ditentukan dari sekolah. Misalnya, semuanya harus pintar matematika. Jika tidak, bakal dicap bodoh.
“Padahal tidak semua anak berbakat di matematika. Itu seperti analogi yang mengajari semua makhluk untuk bisa terbang. Gajah disuruh terbang, kuda disuruh terbang, padahal mereka nggak punya bakat di sana. Padahal mungkin dia punya kekuatan lain, punya pilihan lain,” terang Sri.
Ketiga, menentukan target. Ketika anak sudah bisa menjadi subjek belajar, kata dia, si anak pasti sudah tahu cara mengatasi masalah, kemudian bisa mengatur target untuk dirinya sendiri.
Selain kegelisahannya soal ketidaktahuan konsep belajar, Sri juga memiliki alasan lain mendirikan sekolah keberagaman pertama di Kota Pontianak.
Menarik tuas waktu jauh ke belakang, saat dirinya menjadi penerjemah sebelum kembali ke Pontianak, ia cukup sering berinteraksi dengan diplomat asing dan para peneliti.
“Dari situ saya mengetahui juga diberitahu bahwa kondisi kita memang tidak baik-baik saja. Banyak potensi konflik yang sangat besar. Karena saya lahir di Pontianak, saya juga tahu konflik yang ada di Pontianak,” tutur Sri.
Maka setelah menginjakkan kaki kembali di Kota Khatulistiwa, saat ingin mengonsep Cerlang, Sri menginginkan prinsip utama di sekolah keberagaman itu yakni belajar untuk belajar dan untuk menanamkan serta mengajarkan keberagaman.
“Bukannya di Indonesia tidak ada sekolah seperti ini, ada banyak sebenarnya, tapi di Pontianak kurang gaungnya kayaknya. Sementara, itu tadi, hasil produksi sekolah yang tidak mengajarkan cara belajar. Kalau informasi produk-produk konsumtif, cepat sekali Pontianak ini,” kelakarnya.
Keberagaman, menurut peserta program pertukaran guru ke Australia pada 1997 ini, bukan hanya dalam kondisi ekonomi-sosial-politik atau suku budaya yang berbeda, melainkan juga soal kondisi fisik yang berbeda, namun bisa diterima di tempat yang sama.
“Di tempat kami, keberagaman kita konsepkan sejak awal bahwa itu harus menjadi semua boleh masuk, setiap orang berhak atas pendidikan yang baik. Semua ada di situ. Yang autis, walaupun yang ringan. Kemudian cacat fisik, selama mereka masih mengikuti pelajaran, ya ikut. Begitulan konsep perbedaan yang harus anak-anak biasakan. Dan hasilnya, positif memang,” paparnya.
Sebagai orang yang sudah cukup lama menyuarakan isu-isu keberagaman, Sri mengakui bahwa peran perempuan dalam konteks ini masih terbilang kecil. Ia menerka, barangkali hal itu dikarenakan konteks sosial yang sangat patriarkis, yang berpikiran bahwa para perempuan ikut saja di belakang.
“Kemudian dari data, tingkat pendidikan perempuan memang lebih rendah. Mungkin juga sebagai perempuan, kurang terekspos untuk isu-isu seperti ini. Jadi, tidak terlibat atau tidak menyadari potensinya karena memang tidak terekspos ke sana,” terangnya.
Alumnus S2 Linguistik Universitas Indonesia ini juga menuturkan dirinya baru belajar dari salah satu aliran agama bahwa ibu adalah madrasah pertama dan utama. Namun sebelumnya, Ki Hajar Dewantara juga mengatakan bahwa orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak.
Hal itu sejalur dengan sistem sosial yang patriarkis dalam keluarga masa kini: ibu memilki peran paling utama.
“Mengapa perlu dikampanyekan perempuan? Karena kalau perempuannya sadar, ketika dia menjadi ibu rumah tangga tulen pun, sebenarnya dia bisa mengedukasi dan bisa melakukan banyak hal dengan anaknya duluan. Jadi, pendidikan keluarganya menjadi pendidikan keluarga yang menanamkan nilai-nilai keberagaman, nilai-nilai bhinneka tunggal ika,” ungkap Sri.
Tak lupa ia mengingatkan, sebenarnya perempuan memiliki posisi penting dan punya kekuatan besar untuk melakukan banyak hal, terutama menyuarakan isu keberagaman. Jika hal tersebut dikerjakan pada anak usia dini, akan tertanam kuat di benak si anak.
Pun, ketika ibu mengajarkan anaknya tentang keberagaman, ia tidak hanya mengajarkan anaknya, otomatis suaminya juga akan terbawa. Tak menutup kemungkinan, apa yang diajarkan oleh ibu, bisa menular ke tetangga-tetangganya. Apalagi sekarang ini, sudah banyak ibu yang menggunakan media sosial.
“Ada potensi besar yang seharusnya bisa dikembangkan dan seharusnya bisa dimainkan dengan baik. Itulah potensi perempuan yang tidak disadari,” ucap Sri.
Berpuluh tahun menkampanyekan isu keberagaman, bukan berarti tak ada kendala yang dialami oleh Sri. Tak jarang ia dan rekan-rekannya mendapat cap sebagai orang yang mengajarkan toleransi yang kebablasan.
Namun, perempuan yang juga Ketua Harian Yayasan Saka, yayasan yang bergerak dalam isu keberagaman, pendidikan, perempuan, dan anak ini tak ambil pusing. Menurutnya, mereka yang memberikan cap tersebut, mungkin memiliki konsep toleransi yang berbeda.
“Ketika kita membicarakan konsep keberagaman, untuk bisa menerima itu semua, kita perlu empati level maksimal. Gimana kita bisa menerima orang lain yang berbeda dari kita, bisa memaklumi mereka, sehingga memberi ruang yang sama, hak yang sama yang kita punya kepada mereka? Bukan berbagi, tetapi apa yang saya peroleh, kamu peroleh juga, walaupun kamu berbeda dari saya,” ujar Sri.
Sebab isu keberagaman bukan hanya untuk laki-laki, Sri mengajak semua orang mengambil tanggung jawab bersama atas isu ini sebagai warga negara, sama halnya ketika negara terbentuk atas kesepakatan bersama.
“Jadi, kalau kita mau Indonesia ini ada, kita semua bertanggung jawab untuk menjaga komitmen itu. Mau itu laki-laki atau perempuan, kita lakukan komitmen itu berdasarkan kapasitas kita masing-masing. Seperti saya, misalnya ngajar, ya udah, saya di bidang pendidikan. Kalau IRT yang di rumah aja, ya udah, di rumah aja, ngajarin anaknya tentang Kebhinnekatunggalikaan. Banyak yang bisa dilakukan,” pesan mantan dosen Bahasa Inggris Unika Atma Jaya Jakarta ini.
“Kita semua bertanggung jawab untuk keberadaan kita bersama. Semua orang wajib mengerjakannya, termasuk perempuan,” pungkas Sri.