Aseanty Pahlevi: Perempuan Wajib Melek Digital
Di era digitalisasi, stereotype mengenai perempuan itu gagap teknologi, sudah jamak. Perempuan disebutkan tidak bisa mengoperasikan komputer, atau bahkan belum memahami fungsi gawai canggih yang digenggamnya kemana-mana.
“Ini sungguh menguras emosi, padahal tidak sedikit juga laki-laki yang tidak tahu apa-apa soal teknologi,” ujar Aseanty Pahlevi, Ketua Jurnalis Perempuan Khatulistiwa.
Organisasi komunitas perempuan Jurnalis di Kalimantan Barat ini kemudian bertekad untuk mengenalkan literasi digital bagi perempuan. Tak hanya mengenai pemahaman fungsinya saja, namun juga penggunaannya sehari-hari.
Menurutnya, jurnalis harus menjadi ujung tombak agar literasi digital semakin tinggi di kalangan masyarakat, mengingat fungsinya sebagai penyampai informasi.
“Awal-awalnya memang sulit, apalagi banyak yang bilang, literasi dasar aja masih kurang, tapi kita jalan terus,” ujarnya.
Perempuan yang akrab disapa Leavy ini meyakini, selalu ada yang pertama untuk segala sesuatunya dan bisa jadi tidak mudah. Program pun dirancang dengan memperkuat internal anggota JPK sendiri.
Berdiri sejak Desember 2012, program literasi digital merupakan materi yang sudah selayaknya dimiliki oleh jurnalis. Namun sejauh mana literasi digital tersebut mendukung kerja jurnalistik teman-teman jurnalis perempuan, perlu dijajaki. Leavy, kala itu menjabat sebagai sekretaris JPK, mendampingi Kusmalina, Nurul Hayat dan Mela Danisari, seniornya yang menjabat sebagai Ketua, Wakil Ketua dan Bendahara.
Sebagai pengelola program, Leavy memetakan kemampuan literasi digital teman-temannya, untuk kemudian menyusun materi penguatan. Padahal saat itu, belum banyak kegiatan pelatihan mengenai literasi digital. Semua informasi dikumpulkan melalui internet, baik modul-modul pelatihan, konten di sosial media, maupun artikel-artikel.
Hal dasar yang dilakukan adalah mengoptimalkan pesan pencari Google dengan menggunakan metode atau rumus-rumus tertentu. “Ini penting agar dalam melakukan riset sebelum menulis, teman-teman pun mengetahui dengan cepat dan tepat,” ujarnya. Berbagi informasi pun dilakukan melalui grup pesan, belum ada program khusus.
Hingga pada tahun 2014, saat eskalasi politik meningkat timbullah fenomena kabar bohong atau hoaks, serta banyak kesalahan informasi. Leavy merasa dinimika berliterasi digital lebih beragam ketimbang sebelumnya. Jurnalis kemudian harus lebih paham akan isu yang berkembang, mampu menerjemahkan berita bohong, dan berita salah informasi.
Jurnalis juga dituntut harus mampu menggali banyak sumber terpercaya untuk menyuguhkan berita, di era digitalisasi yang semakin kompleks. Pada tahun-tahun setelah ini, kemudian mulai banyak pula program yang menyasar literasi digital untuk melawan berita hoaks.
Namun, lagi-lagi, peran perempuan membutuhkan aksi afirmasi yang sangat total, lantaran mustahil jika perjuangan dilalui tanpa tantangan.
“Organisasi ini berdiri berdasarkan kesukarelaan dan kesadaran anggotanya untuk meningkatkan kemampuan diri serta mengadvokasi sekitarnya dan masyarakat luas pada umumnya. Masing-masing anggota berjibaku dengan kewajiban di perusahaan media masing-masing, serta kesibukan personal masing-masing. Tidak muluk-muluk menjadi organisasi yang berkiprah secara nasional, dapat terus mendukung satu sama lain untuk terus berkarya dengan baik pun sudah cukup,” ujar Leavy.
Affirmative Action
Sebagai salah satu pendiri JPK, Leavy bukan tidak menyadari bahwa komitmen mendirikan organisasi ini merupakan jalan pedang baginya dan teman-temannya, yang saat itu berjumlah 10 orang.
Organisasi ini bersifat terbuka. Siapa saja, selama jurnalis perempuan bisa bergabung. Kini anggotanya terdiri dari 30 jurnalis yang berdomisili di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Barat.
Masing-masing bahkan sudah bergabung dengan organisasi profesi lainnya di Kalbar, seperti Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, serta Pewarta Foto Indonesia. “Saya rasa ini tidak masalah, justru di komunitas kami lebih cair, dan masing-masing menularkan ilmu yang didapat dari organisasi profesinya,” tukas Leavy.
Sudah punya organisasi, kenapa harus bikin organisasi sejenis? Bedanya organisasi ini isinya perempuan semua. “Ini adalah pertanyaan dan pernyataan yang sering dilontarkan banyak orang, baik yang terang-terangan maupun di belakang,” ujarnya.
Menurut Leavy, salah satu niatnya untuk mendirikan organisasi ini adalah sebuah aksi afirmasi, untuk mendorong satu sama lain meningkatkan kapasitas sebagai jurnalis. Hasil dalam skala besar adalah menyuguhkan informasi yang akurat, terverifikasi dan komprehensif kepada masyarakat luas.
Leavy mengakui, belum semua jurnalis perempuan tergabung dalam komunitas ini. Tidak ada target untuk merekrut agar semua jurnalis perempuan bergabung. “Bebas saja, kalau ada acara diskusi atau workshop yang di luar JPK juga bisa tetap ikut. Tidak ada paksaan, atau target semua harus gabung,” tukasnya.
Setiap orang punya hak untuk berkelompok atau berkumpul, begitu juga untuk memutuskan tidak masuk ke dalam kelompok manapun. Pasalnya, tujuan utama dari organisasi bukan untuk merekrut sebanyak-banyaknya anggota, namun untuk lebih memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada anggota dan masyarakat luas.
Maka, JPK pun mulai percaya diri mengampu program dengan judul #shareyangbaik. Kegiatan ini diawali dengan workshop bekerjasama dengan penyedia layanan telekomunikasi pada tahun 2017. Dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan kampanye, diskusi serta pelatihan yang sifatnya sukarelawan. Pada tahun 2017 itu lah, JPK berhasil merangkul berbagai macam komunitas di Kota Pontianak, terkait literasi digital.
Masih sebagai bentuk afirmasi, perempuan penting mengambil peran untuk memajukan literasi digital ini. Memahami literasi digital, adalah satu pijakan awal untuk meningkat ke literasi lainnya. “Perempuan dukung perempuan,” cetusnya. Terlebih, saat ini pun perbandingan pengguna internet masih lebih banyak laki-laki.
Riset Google pada tahun 2019, dengan tajuk Toward Gender Equity Online, menunjukan akses internet sudah makin terjangkau tetapi kesenjangan akses digital antara laki-laki dan perempuan cukup timpang. Riset yang dilakukan dibeberapa negara, termasuk di Indonesia menyebutkan, pengguna internet laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Hasil riset menyebutkan antara lain, kesenjangan terjadi lantaran tanggung jawab perempuan lebih banyak, sehingga waktu mereka mengakses internet lebih sedikit.
Dalam literasi digital saat ini, JPK pun membuat platfoam media sosial yang kontennya relevan dengan perempuan. Termasuk keamanan digital, literasi finansial, serta isu-isu advokasi gender dan kelompok minoritas.
Era digital ternyata juga menjadikan ancaman tersediri bagi perempuan dengan adanya kekerasan berbasis gender online. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, KBGO pada masa pandemi Covid-19 ini mulai mengalami kenaikan.
Tak hanya itu, Survei UN Women juga menyatakan bahwa ada peningkatan kasus KBGO cukup tajam, bahkan kurang dari 40 persen korban mencari pertolongan.
“Maka kemampuan literasi digital yang mumpuni dapat mencegah perempuan dan anak menjadi korban KGBO,” lanjutnya.
Oleh karena itu JPK mendorong terciptanya kerja sama antar-sektor, baik pemerintah, swasta dan penyedia layanan teknologi dan telekomunikasi, media, penegak hukum dan seluruh masyarakat.